Survive Jadi Orang Tua Tunggal: Tegar, Mandiri, dan Penuh Makna
Oleh: Widodo, S.Pd.
Menjadi orang tua tunggal adalah pilihan yang tidak semua orang siap menjalani. Tanggung jawab yang diemban begitu besar---mulai dari mengatur urusan rumah tangga, memenuhi kebutuhan finansial, hingga memberikan dukungan emosional kepada anak-anak. Saya, sebagai seorang guru SD, pernah berkesempatan bertemu dan mewawancarai beberapa orang tua tunggal. Pertanyaan sederhana yang sering saya lontarkan adalah, "Mengapa Bapak/Ibu tidak menikah lagi?" Jawaban mereka justru menginspirasi banyak hal tentang arti bertahan, berkorban, dan mencintai anak dengan sepenuh hati. Berikut kisah perjuangan single parent.
1. Ibu W: Janda Dua Anak yang Tangguh dari Medan
Ibu W adalah seorang ibu dengan dua anak---seorang putra dan putri. Sehari-hari, beliau berprofesi sebagai pengusaha makanan di Medan. Saat saya tanya mengapa tidak menikah lagi, jawabannya sederhana namun menyentuh, "Saya ingin fokus membesarkan kedua anak saya, tidak ingin mereka kehilangan arah karena kehadiran orang baru."
Baginya, menjadi single parent bukanlah beban, tetapi sebuah panggilan hati. Kesibukannya berdagang bukan hanya menjadi sumber penghasilan, melainkan juga cara beliau mendidik anak-anaknya untuk menghargai kerja keras.
2. Papa Fr: Sang Sultan yang Pilih Kesetiaan untuk Anak
Papa Fr dikenal sebagai pengusaha sukses, bahkan banyak orang menjulukinya sebagai "sultan." Namun di balik kesuksesan finansialnya, ia memilih untuk tidak menikah lagi demi membesarkan putra semata wayangnya. Alasannya sangat mendasar, "Saya tidak ingin melukai hati anak saya. Saya ingin dia tumbuh dengan penuh kasih tanpa merasa tersaingi oleh kehadiran orang baru."
Keputusan Papa Fr menunjukkan bahwa cinta seorang ayah kadang lebih besar daripada keinginan pribadinya untuk mencari pasangan baru.
3. Papa GG: Mengisi Sepi dengan Kegiatan Sosial
Berbeda dengan Papa GG. Ia juga memilih untuk tetap sendiri demi membesarkan putri semata wayangnya. Namun, untuk mengatasi rasa kesepian di rumah, Papa GG aktif dalam kegiatan sosial. Ia bergabung dengan sebuah LSM dan menjadi fasilitator inti di Gereja Keuskupan Agung Jakarta.
Melalui kegiatan sosial ini, Papa GG menemukan cara baru untuk tetap produktif, berbagi kasih dengan sesama, dan sekaligus menjadi teladan bagi putrinya bahwa hidup harus terus berarti, meski dengan keterbatasan.
Kesimpulan