Ketika Masa Lalu Menyapa
Bagian Kedelapan
Oleh: Widodo, S.Pd.
22. "Jejak di Saung Alam"
Bulan Juli menyapa dengan hangat. Di antara tugas menumpuk dan jadwal mengajar yang padat, aku merasa inilah saat yang tepat untuk sejenak berhenti, menarik napas, dan memberi ruang bagi keluarga. Gaji ketiga belas telah cair, dan walau aku hanya guru swasta, alhamdulillah---masih ada rezeki untuk memanjakan orang-orang tercinta.
Kami memutuskan untuk makan bersama di Saung Alam, sebuah tempat makan bernuansa desa di daerah Rangkasbitung. Tempatnya nyaman, saung-saung bambunya dikelilingi kolam ikan dan pepohonan yang rindang. Kicau burung dan desir angin membuat suasana makin tenteram.
Di sana kami duduk mengelilingi meja panjang, menunggu hidangan datang sambil berbincang hangat. Kakakku bercerita tentang anaknya yang baru saja diterima kerja di Jakarta. Adikku menyisipkan cerita lucu tentang kuliah daring yang kini mulai terasa membosankan bagi anak-anaknya. Aku hanya tertawa dan menyimak. Suasana begitu akrab, seolah kami kembali ke masa kecil.
Ketika hidangan datang---kerang saus padang, ayam bakar, cah kangkung, teh manis hangat, dan es jeruk segar---kami berdoa bersama. Mengucap syukur atas berkah kecil yang tak bisa dibeli dengan apapun: kebersamaan.
Sambil menyantap makanan, aku iseng membuka ponsel. Jempolku menari di atas layar hingga tak sengaja membuka galeri lama. Mataku tertumbuk pada sebuah foto dari tahun 2006---sebuah gambar usang berisi aku dan beberapa teman kuliah sedang berkumpul di bawah pohon ketapang. Tiba-tiba aku terdiam.
"Kenapa, Pak?" tanya istriku.
"Lihat ini," jawabku, menunjukkan foto itu. "Aku baru ingat... sudah lebih dari lima belas tahun aku tak menghubungi Dimas."