Bagian KeduaÂ
Oleh: Widodo, S.Pd.
4. Menyapa di Ujung Sapa yang Tertahan
Aku sering bermimpi, bertemu orang-orang dari masa lalu. Kadang teman sepermainan, kadang sahabat masa kuliah, kadang juga cinta lama. Tapi kali ini berbeda.
Aku bertemu seseorang yang pernah menjadi musuhku. Ya, musuh dalam arti kanak-kanak. Namanya Rahmat.
Kami duduk sebangku saat kelas lima SD. Tapi bukan berarti akrab. Rahmat sering berkata kasar. Suka mengejek. Suka menghina. Kadang karena warna kulitku, kadang karena pakaianku yang tak baru. Aku tahan-tahan. Sampai satu hari, aku tak tahan lagi.
Kami berkelahi. Di belakang sekolah. Di bawah pohon jambu. Guling-guling di tanah, cakar mencakar, sampai baju sobek dan tangan berdarah. Guru pun datang memisahkan. Kami dimarahi, dijewer, disuruh salaman.
Lucunya, setelah itu kami seolah tak pernah berkelahi. Anak-anak memang seperti itu. Marah sebentar, lalu bermain bersama lagi seperti tak terjadi apa-apa. Tapi tidak benar-benar akrab. Ada jarak yang tetap tersisa, semacam garis tak kasatmata yang membelah dua sisi bangku panjang di kelas.
Puluhan tahun berlalu. Hidup membawa kami ke arah yang berbeda. Aku menjadi guru, tinggal di kota kecil. Rahmat---kudengar---menjadi pengusaha bahan bangunan di kota sebelah. Aku tidak terlalu peduli.
Sampai suatu hari, saat aku sedang menunggu angkot di tepi jalan pasar, aku melihatnya. Rahmat. Berjalan sambil menenteng plastik belanja. Rambutnya sudah menipis, perutnya buncit, dan jalannya agak perlahan. Tapi wajah itu... masih bisa kutebak.