Kamar Nomor 13
Oleh: Widodo, S.Pd.
Namaku Bani. Aku seorang guru wali kelas 6 di SD Swasta Dermaga Pantura. Awal Agustus ini, aku bersama dua rekan guru—Bu Surti dan Bu Yohana, guru agama—mengantar 50 murid untuk mengikuti kegiatan retret di sebuah rumah retret bernama Semedi yang terletak di kaki bukit Ambarawa.
Tujuan kegiatan ini jelas: melatih kemandirian, menggali jati diri sebagai pribadi yang unik, dan membentuk karakter unggul untuk menghadapi zaman milenial. Perjalanan ke sana menyenangkan. Kami menyewa bus AC Subur Jaya Makmur, lengkap dengan permainan seru selama di perjalanan—tebak kata, berkata cepat, dan lomba yel-yel. Anak-anak bersorak gembira. Semuanya tampak berjalan baik. Semuanya... sampai kami tiba.
Rumah retret Semedi berdiri di tengah rindangnya hutan pinus. Udara sejuk menyambut kami. Kami disambut oleh seorang rohaniwan, Bruder Bambang—suara lantang, penuh humor, dan sangat akrab dengan anak-anak.
Sore itu, setelah pembukaan, kami membagikan kamar. Setiap anak berkelompok empat, dan para guru mendapat kamar masing-masing. Aku mendapatkan kamar nomor 12, bersebelahan dengan kamar nomor 13. Namun, kamar itu... kosong. Terkunci. Tak berpenghuni.
“Memang dari dulu kamar itu tidak dipakai,” ujar penjaga rumah retret sambil tersenyum tipis.
“Mengapa?” tanyaku.
Ia tidak menjawab, hanya menatapku sebentar, lalu berbalik pergi.
Malam pertama, setelah semua anak terlelap, aku keluar untuk memastikan keamanan. Lorong menuju toilet agak sepi dan remang. Saat berjalan melewati kamar nomor 13, tiba-tiba bulu kudukku berdiri. Dari sudut mataku, aku melihat sesosok perempuan—berpakaian suster, rambut panjang tergerai, wajah pucat—berjalan perlahan keluar dari kamar itu.