Karangan Liburan dan Sebuah Perjalanan
Oleh: Widodo, S.Pd.
Setiap akhir tahun ajaran, aku---seorang guru Bahasa Indonesia di sebuah SMP negeri---selalu memberikan tugas menulis karangan bertema "Pengalaman Liburan Sekolah." Sudah menjadi tradisi. Anak-anak menyambutnya dengan antusias. Bahkan, mereka kerap menyelipkan cerita-cerita lucu, seru, kadang pula yang ganjil, yang membuatku tergelak atau tertegun saat membacanya.
Aku pun, tanpa diminta, ikut membuat karangan. Entah sejak kapan kebiasaan itu kutekuni. Mungkin karena aku juga butuh ruang untuk bercerita. Untuk menyampaikan sesuatu kepada diri sendiri, yang tak sempat kusampaikan di ruang guru atau di antara obrolan santai kala jam kosong.
Libur panjang selalu menjadi momen yang kutunggu. Sama seperti rekan-rekanku. Satu minggu sebelum pembagian rapor, suasana di ruang guru terasa cerah. Wajah-wajah berseri-seri, seolah seluruh letih mengajar selama satu semester segera diganti dengan udara kampung halaman atau aroma laut dari destinasi wisata.
"Aku mau pulang kampung!" seru Bu Wati, guru IPA, saat aku tanyakan rencananya.
Aku mengangguk. "Aku juga."
Bukan ke tempat wisata, bukan ke luar negeri. Tapi pulang ke rumah masa kecil di Ciamis, tempat kenangan dan keluarga besar berkumpul. Tempat aroma daun pisang rebus dari dapur nenek masih terasa akrab di hidung.
Dan seperti biasa, perjalanan mudik tak selalu berjalan mulus.
Tahun itu, jalan tol macet bukan main. Mobil kami seperti kura-kura tersesat di hutan beton. Arus kendaraan seperti aliran sungai penuh sampah, tersumbat, mendidih oleh knalpot dan keluh kesah. Rasa gelisah menyusup pelan saat indikator bensin menurun, namun SPBU masih puluhan kilometer jauhnya. Di pinggir tol, orang-orang berjualan bensin eceran dalam botol plastik. Pemandangan aneh, tapi jadi penyelamat.
Di tengah kepenatan, putraku tiba-tiba berkata, "Pak, lihat berita ini!"