Tapi masalah belum selesai. Fatma masih sering bermain ke kampung sebelah, tempat tinggal Ratna, teman sebayanya. Suatu kali aku melihat Ratna dari jauh, tengah asyik menggaruk kepala. Gerakan tangannya lincah, seperti menari, tapi membuat bulu kudukku meremang.
"Bagaimana kalau Fatma dilarang dulu bermain ke sana?" kataku pada istriku.
Ia menggeleng. "Wah, bisa ramai kalau ibunya Ratna dengar. Nanti dikira kita merendahkan mereka."
Akhirnya, aku mencari solusi di Mbah Google. Dari situ kutemukan cara sederhana dan aman membasmi kutu. Aku pun memberanikan diri mengajak Ratna berbicara. Kupanggil ia dengan halus, kuajak duduk di teras, dan kuberikan sebotol sampo anti-kutu.
Tak lama, beberapa tetangga juga berencana mengirim bantuan ke kampung sebelah---sembako dan perlengkapan mandi. Aku dan istriku menyumbang sabun, sampo, dan brosur kecil berisi tips menjaga kebersihan rambut.
Kami tak ingin mempermalukan siapa pun. Kami hanya ingin rambut bersih, kepala lega, dan hidup kembali tenteram. Kutu mungkin kecil, tapi bila dibiarkan, ia bisa merusak keharmonisan.
Dan di suatu malam yang tenang, aku kembali menatap langit sambil mengusap kepala yang kini bebas gatal.
"Ya Tuhan," bisikku lirih, "bolehkah makhluk itu tak lestari? Tak usah punah semua hewan, cukup kutu saja. Boleh, ya Tuhan?"
Aku tersenyum. Syukur, lagi-lagi syukur. Bahkan untuk hal sekecil kutu.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI