Kutu, Syukur, dan Sebotol Sampo
Oleh: Widodo, S.Pd.
Aku tak pernah menyangka akan sampai di titik ini. Sebuah rumah mungil namun nyaman, istri yang sabar dan tabah, anak-anak yang sehat dan ceria, satu sepeda motor dan mobil bekas yang masih layak jalan---semua seperti angan-angan masa muda yang perlahan menjadi nyata. Syukur tiada henti kupanjatkan ke hadirat Allah SWT.
Anak-anakku tumbuh dengan baik. Fatma, anakku yang sulung, menjadi kebanggaanku. Pintar, ceria, dan supel. Ia bisa bergaul dengan siapa saja tanpa membeda-bedakan latar belakang. Ia aktif di sekolah, ikut pramuka, bahkan pernah menjadi pemimpin regu di kegiatan kemah terakhir. Aku dan istriku sering memuji daya juangnya.
Namun suatu hari, suasana rumah yang penuh syukur itu terusik.
"Ayah, Fatma kayaknya ada kutu..." bisik istriku dengan nada campur aduk antara panik dan geli.
"Kutu?" tanyaku, seakan tak percaya. "Zaman begini, masih ada kutu?"
"Kupret benar kutu itu," lanjut istriku sambil menggaruk kepalanya sendiri, seolah imajinasi sudah menjalar ke kulit kepala. "Mainnya di kampung sebelah sih, sama anak-anak situ."
Aku mencoba menanggapi tenang. Tapi begitu mendengar suara istri yang makin tinggi nadanya, aku mendadak merasa ada yang merayap di sela rambutku. Kleler-kleler, rasa gatal itu seperti ilusi yang menjelma nyata. Apa jangan-jangan aku juga...
Kami pun bergerak cepat. Diam-diam, tentu saja. Malu kalau sampai tetangga tahu. Kami beli peditox dan sisir serit---yang konon ampuh sejak zaman nenek moyang dulu. Kami menyisir rambut Fatma seperti sedang menyisir masa lalu: teliti, penuh harap, dan sesekali terkejut menemukan sesuatu yang tak diinginkan.
Lucunya, aku yang lelaki dengan rambut tinggal sedikit ini, juga ikut kena. Ah, malunya! Tapi kami tidak menyerah. Seperti pramuka yang tak kenal lelah, kami berjuang memberantas kutu dari helai ke helai rambut, dari malam ke malam. Dan akhirnya, menang.