Kenangan di Tengah Cangkir Kopi
Oleh : Widodo, S.Pd.
Siang itu, kantin kecil di pojok sekolah SD Suka Cita menjadi tempat pelarian kami. Matahari bersinar malu-malu setelah hujan semalam. Kami---lima orang guru---duduk melingkar, masing-masing memegang cangkir kopi yang masih mengepul. Di antara aroma robusta yang menggoda, kami melepas penat setelah usai mengawas ujian sekolah kelas 6.
"Wah, akhirnya kelar juga ngawas. Kaki pegal, tapi hati lega," ujar Pak Agus sambil mengangkat kaki ke kursi kosong.
Bu Tari tertawa kecil. "Kalau nggak ngopi bareng begini, rasanya kok ada yang kurang ya."
Obrolan pun mengalir. Pak Narto mulai membicarakan soal muridnya yang belum bisa membayar uang sekolah. "Kasihan si Rian. Orang tuanya baru di-PHK. Saya dengar dia mau berhenti sekolah. Kalau di sekolah negeri sih gratis ya..."
Lalu Bu Rini menyambung, "Ngomong-ngomong, kita harus mulai rapat soal acara wisuda. Anak-anak pasti nunggu-nunggu momen perpisahan. Harus berkesan."
Aku hanya tersenyum kecil, menyeruput kopi yang mulai hangat. Tapi pikiranku melayang. Hari ini, bukan hari biasa. Ada luka lama yang seakan kembali terbuka. Mei, tujuh tahun lalu, kenangan itu masih jelas tergambar.
Aku meletakkan cangkir perlahan. "Kalian sadar nggak, hari ini... tepat tujuh tahun sejak Jaleka pergi?"
Semua mendadak terdiam.
Bu Rini memalingkan wajah, matanya tampak berkaca. "Aku masih ingat..."
Hari itu, kami para guru pergi berlibur ke Pantai Nusa setelah semesteran. Angin sore mengusap lembut wajah kami. Ibu Warti---yang kini sudah pindah tugas---sempat bercerita dengan wajah cemas. Katanya, sehari sebelumnya ia melihat perwujudan seperti manusia raksasa berdiri diam di tengah laut. Ia ketakutan dan segera menarik putranya, Banu, pulang.