Mohon tunggu...
Widjaya Harahap
Widjaya Harahap Mohon Tunggu... Insinyur - a quietude storyteller

write for soul enrichment and enlightenment

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tukang Koyok

14 Januari 2021   17:21 Diperbarui: 14 Januari 2021   17:27 649
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tukang koyok (tukang jual obat) masa kini (foto courtesy kaskus.co.id)

"Pulang sekolah langsung ke rumah. Jangan pula kau keluyuran apalagi nonton tukang koyok," Emak mewanti-wantiku.

Titahnya seakan bersipongang di dalam telinga. Menguntitku ke sekolah. Hampir-hampir saja bikin gagal fokus mengikuti pelajaran. Jarang-jarang Emak galak begitu. Barangkali belakangan ini dilihatnya ulahku sudah keterlaluan.

Lonceng dipukul berdentang-dentang. Menandakan waktu pulang. Kami sekelas berdiri. Ritual menghormat guru. Kusambar tumpukan buku yang dari tadi sudah tergolek rapih di atas meja lalu dengan langkah-langkah panjang menghambur menuju rumah.

Terngiang-ngiang kata-kata Emak: Jangan pula kau keluyuran atau nonton tukang koyok. Sudah diperingatkan begini, tak berani aku menengkar. Kalau berani mencoba-coba, sudah menunggu ancaman cubit di paha.

Aku tiba di rumah mendahului kakakku. Emak masih tertungkus lumus di dapur. Setelah bersalin pakaian, aku pun menghampirinya. Sudah jadi kebiasaan barangsiapa di antara kami anak-anaknya yang lebih dahulu pulang dari sekolah, ia bertugas menolong Emak memasak. Aku menampak lesung batu sudah berisi cabai. Emak akan membuat sambal. Tugasku lah menumbuknya.

Sebelum aku mulai, Emak membuatkan gelang kapur. Kapur sirih yang dibasahkannya dicolek dengan ujung jari telunjuk lalu digoreskannya melingkar mengelilingi kedua belah pergelangan tanganku. Sambil melingkarkan goresan kapur mulutnya komat-kamit seperti tengah berdoa. Supaya tanganku tidak terkena panasnya cabai, katanya.

Pernah dulu, aku menangis malam-malam merasakan panas di tangan setelah menumbuk cabai siang harinya. Sejak itulah Emak tak pernah absen memasangkan gelang kapur setiap kali aku akan membantunya menumbuk cabai. Entah karena kapur memang berkhasiat mencegah rasa panas dari cabai, entah doa Emak yang mustajab atau kedua-duanya berlaku, nyatanya sejak mengenakan gelang kapur aku tak pernah lagi mengalami panas tangan karena menumbuk cabai.

***

Aku memang gemar menonton tukang jual koyok. (Aku lebih sering menyebutnya tukang koyok saja.) Tapi Emak tidak bisa terus-terusan kuselingkuhi. Meskipun tidak melihat sendiri, ia tahu di belakangnya aku sering sembunyi-sembunyi menonton atraksi tukang koyok.

Tidak jarang Emak sengaja mengisyaratkan padaku bahwa aku takkan pernah sepenuhnya berhasil membohonginya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun