Aku berjalan sendirian melewati lorong kampus. Hanya kesunyian yang menemaniku. Ruangan demi ruangan terlalui, tanpa ada urusan yang pasti. Pernah aku menjadi mahasiswa di sini, tapi tidak lama. Itu saja!
Hidup memang bukan apa-apa, apalagi soal cinta! Setidaknya bagiku, jangankan kekasih, ada yang mau menegurku saja sudah syukur! Sekalipun ada, mereka selalu melakukannya dengan nada mengejek.
Tak punya teman dan depresi. Ah, hidupku memang penuh warna. Cuma selalu divariasi dengan warna gelap.
Kedua orang tuaku mati terbunuh karena tabrak lari ketika aku masih kecil. Dua tahun pertama hidup kuhabiskan untuk mencintai keduanya, tahun-tahun berikutnya aku hanya bisa merindukan dan mengharapkan mereka.
Tidak hanya sampai di situ. Tak ada seorang pun yang menghendakiku. Hanya baru-baru ini saja ada orang yang sudi mengadopsiku. Walau aku tak yakin berapa lama mereka bakal betah menjadi orang tuaku.
Banyak yang bilang aku 'weirdo'. Atau mungkin karena mereka terlalu ketakutan. Lagi pula siapa sih yang mau mengadopsi anak mahasiswa yang depresi? Aku sudah tahu jawaban itu. Tidak ada!
Dicintai rasanya aku tak mungkin. Mencintai adalah momen yang kutunggu. Menunggu saat yang tepat. Entah kapan, tapi aku mempunyai firasat sebentar lagi momentum itu akan datang. Lebih cepat dari yang aku harapkan, dari yang siapa pun harapkan.
Ah, sepertinya ini efek samping dari perasaan yang teraduk-aduk, antara kehilangan kedua orang tua yang benar-benar mencintaiku dan gadis yang kucintai tapi sering mem-bully-ku, juga mungkin efek samping dari ... depresi.
Usiaku dua puluh tahun. Selama delapan belas tahun aku hidup tanpa cinta dan selama itu pula hidupku digelayuti oleh ketakutan akan sesuatu yang kudamba. Cinta. Ketakutan akan kehilangannya.
Sesaat kudengar suara orang berbisik-bisik di ujung lorong. Dari ruangan di mana seharusnya aku ada di dalamnya. Kubuka sedikit pintu ruangan itu. Mengintip, penasaran ingin tahu sedang apa mereka.
Tidak terlihat dosen di sana. Semuanya sibuk bicara. Seperti biasa, tak ada yang memperhatikanku.