Menjadi ironi ketika PT KAI baru bisa menutup tanpa diprotes warga ketika sudah ada kejadian kecelakaan di perlintasan tersebut.
Pihak PT KAI sendiri sudah menyatakan akan menuntut pengemudi mobil untuk mempertanggungjawabkan tindakannya, karena tidak mendahulukan perjalanan kereta sehingga menyebabkan kerusakan sarana dan gangguan perjalanan.
Banyak pihak memang dirugikan akibat insiden kecelakaan ini. Selain PT KAI sebagai pemilik sarana, warga, penumpang setia KRL dan juga korban jelas mengalami kerugian.
Namun, akar dari permasalahan, yaitu keberadaan perlintasan sebidang ilegal, seharusnya dievaluasi kembali. Melakukan pembiaran selama bertahun-tahun sebenarnya juga turut memiliki andil memelihara bom waktu yang sewaktu-waktu bisa mengakibatkan insiden serupa terulang.
Dulu, sebelum kepadatan penduduk belum seperti sekarang, daerah yang dekat dengan rel kereta mungkin masih sepi. Lambat laun karena tumbuhnya pemukiman penduduk, perlintasan rel kereta ilegal pun muncul dan menjadi salah satu akses vital bagi warga untuk memangkas jarak.
Menutup perlintasan secara permanen mungkin bisa dilakukan sesegera mungkin. Tapi tentu saja PT KAI harus melakukan koordinasi dengan Pemda setempat dan melakukan komunikasi dengan warga setempat untuk mencari solusi.
Jika perlintasan-perlintasan ilegal itu memang terpaksa harus ditutup permanen, maka warga harus legowo dan paham bahwa hal itu demi keamanan dan kepentingan bersama.
Mengubah status menjadi perlintasan resmi dengan SOP dan tenaga terlatih serta peralatan yang lebih memadai adalah salah satu solusi. Tetapi harus diakui bahwa hal ini sulit diterapkan pada perlintasan yang menghubungkan jalan tikus perkampungan seperti yang banyak dijumpai di jalur Depok-Citayam tersebut.Â
Sebabnya lalu lintas di Jalan Raya Citayam bakal terkena imbas dari kendaraan yang antre menunggu kereta hendak melintas.
Walau bagaimana, pihak terkait tak harus menunggu insiden lagi untuk segera mencari solusi dan melakukan aksi nyata.