Soal belanja kebutuhan rumah tangga, lagi-lagi saya pun sudah tak canggung berada di antara kerumunan emak-emak di warung sayur. Ngapain malu, wong yang jual sayur juga mas-mas kok. Jadi yang mengatakan dunia sayur mayur itu dunia perempuan sudah pasti salah besar.
Juga dunia masak-memasak, lihat saja yang jualan nasi goreng, sate ayam dan masih banyak lagi, kan juga banyak yang laki-laki. Jadi ngapain heran ada lelaki masak di dapur?
Bukan berarti istri jadi malas atau enak-enakan. Hal seperti angkat galon, geser-geser lemari atau meja bahkan kerap dilakukannya tanpa sepengetahuan saya. Juga mandorin tukang jika ada kebutuhan darurat memanggil tukang saat saya sedang berada di luar rumah.
Bisa jadi memang karena budaya keluarga kami sudah terbiasa dengan multi peran ini. Bapak saya sendiri juga demikian, sudah biasa melakukan multi peran. Beliau kalau sudah pegang cobek dijamin menghasilkan sambal yang mantap.
Demikian juga bapak mertua saya, alias bapaknya istri saya. Beliau juga termasuk lelaki yang tak segan belanja di pasar tradisional, memasak,dan sebagainya.
Jadi budaya keluarga yang demikian menular di keluarga anak-anaknya. Itulah yang kami harapkan juga terhadap anak-anak kami. Banyak manfaat yang bisa dipetik, setidaknya bagi kami bisa menambah kekompakan antar anggota keluarga, terbiasa kerja sama, komunikasi yang lancar, mengikis rasa malas dan tidak memandang remeh suatu jenis pekerjaan.
"Jangan sampai lah anak kita menganggap kalau urusan dapur cuma urusan perempuan saja, kalau nggak pernah lihat ayahnya kerja di dapur," ucap istri saya.
Jadi kalau sudah terbentuk menjadi budaya keluarga, maka sebenarnya istilah "tukar peran" dirasa kurang tepat. Segala aktivitas dalam rumah tangga adalah tanggung jawab bersama dan membutuhkan peran semua anggota keluarga.