Mohon tunggu...
Widi Kurniawan
Widi Kurniawan Mohon Tunggu... Human Resources - Pegawai

Pengguna angkutan umum yang baik dan benar | Best in Citizen Journalism Kompasiana Award 2022

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Lelaki Sibuk di Dapur, kok Heran, sih?

31 Oktober 2020   09:12 Diperbarui: 31 Oktober 2020   11:03 809
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menanamkan life skill sejak dini di rumah (foto: widikurniawan)

Suatu siang seorang kawan anak saya yang sedang bertandang ke rumah terlihat keheranan melihat saya sedang berada di dapur. Saat itu saya sedang memasak sesuatu, sembari melakukan beberapa hal mutitasking ketika berada di dapur, seperti mencuci peralatan masak.

"Om, ngapain di dapur? Kok om yang masak dan nyuci piring sih?" tanya anak umur 6 tahun itu dengan nada polos.

Saya hanya terkekeh menanggapinya. Mencoba memaklumi, mungkin di keluarganya seorang ayah sibuk di dapur bukan termasuk dalam budaya keluarga.

Wajar sih. Banyak lelaki menempatkan dirinya dalam rumah tangga sebagai sosok yang memiliki peran khas lelaki, misal cari nafkah di luar dan saat libur atau berada di rumah lebih banyak istirahat, tiduran, atau keluar nongkrong dengan sesama bapak-bapak.

Tidak ada yang salah dengan hal itu. Silakan saja.

Tapi bagi saya dan keluarga, nyaris tidak ada batasan tentang jenis pekerjaan rumah tangga yang dilakukan. Tidak ada istilahnya "pekerjaan perempuan" atau "pekerjaan laki-laki". Siapapun dalam rumah kami, selagi mampu dan sempat silakan saja melakukan peran tersebut.

Memasak misalnya. Jika saya sedang tidak berada di rumah, tentu istri saya selalu melakukannya. Tetapi terkadang muncul juga mood yang kurang, rasa bosan atau kelelahan yang membuatnya tidak maksimal memasak. Nah, di situlah kemudian saya yang terjun ke dapur dengan ide masakan yang tak terpikirkan oleh istri.

Ya walaupun hanya sekadar sambal tauge, telur dadar dicabein atau nasi goreng. Inilah yang melengkapi kami sebagai suami dan istri. Dalam hal masak memasak, istri saya selalu menyajikan masakan istimewa dengan perencanaan yang panjang, misal soto ayam atau rawon beserta lauk pauknya. 

Sedangkan saya lebih ke pertolongan pertama pada kelaparan, bisa mie goreng, nasi goreng, bermacam sambal atau apapun itu yang bisa dimanfaatkan dari bahan-bahan yang tersisa di kulkas. Tapi kalau sudah kehabisan ide ya beli makan saja di luar, hehe.

Intinya sih kerja sama. Tidak perlu malu dan tabu terhadap jenis pekerjaan rumah tangga. Saat istri mencuci baju, saya pun bisa lanjut kebagian jemur baju. Bukan hal berat bagi saya, karena sekalian gerak badan daripada kaku-kaku kebanyakan rebahan.

Bahkan jika ada tamu datang, saya pun tak segan membuatkan minum teh atau kopi, bahkan indomie jika tamunya mau. Santai saja gaes, meskipun tak jarang ada tamu yang malah kikuk melihatnya.

Soal belanja kebutuhan rumah tangga, lagi-lagi saya pun sudah tak canggung berada di antara kerumunan emak-emak di warung sayur. Ngapain malu, wong yang jual sayur juga mas-mas kok. Jadi yang mengatakan dunia sayur mayur itu dunia perempuan sudah pasti salah besar.

Juga dunia masak-memasak, lihat saja yang jualan nasi goreng, sate ayam dan masih banyak lagi, kan juga banyak yang laki-laki. Jadi ngapain heran ada lelaki masak di dapur?

Bukan berarti istri jadi malas atau enak-enakan. Hal seperti angkat galon, geser-geser lemari atau meja bahkan kerap dilakukannya tanpa sepengetahuan saya. Juga mandorin tukang jika ada kebutuhan darurat memanggil tukang saat saya sedang berada di luar rumah.

Bisa jadi memang karena budaya keluarga kami sudah terbiasa dengan multi peran ini. Bapak saya sendiri juga demikian, sudah biasa melakukan multi peran. Beliau kalau sudah pegang cobek dijamin menghasilkan sambal yang mantap.

Demikian juga bapak mertua saya, alias bapaknya istri saya. Beliau juga termasuk lelaki yang tak segan belanja di pasar tradisional, memasak,dan sebagainya.

Jadi budaya keluarga yang demikian menular di keluarga anak-anaknya. Itulah yang kami harapkan juga terhadap anak-anak kami. Banyak manfaat yang bisa dipetik, setidaknya bagi kami bisa menambah kekompakan antar anggota keluarga, terbiasa kerja sama, komunikasi yang lancar, mengikis rasa malas dan tidak memandang remeh suatu jenis pekerjaan.

"Jangan sampai lah anak kita menganggap kalau urusan dapur cuma urusan perempuan saja, kalau nggak pernah lihat ayahnya kerja di dapur," ucap istri saya.

Pelajaran memasak di rumah, ketika sekolah dan keluarga bersinergi mengajarkan life skill sejak dini (foto: widikurniawan)
Pelajaran memasak di rumah, ketika sekolah dan keluarga bersinergi mengajarkan life skill sejak dini (foto: widikurniawan)
Untungnya, sekolah anak saya pun memandang hal yang sama. Sejak awal masuk SD, hingga kini sudah kelas 5 SD, secara rutin anak saya yang laki-laki mendapatkan materi pelajaran life skill yang mengajarkan sejak dini berkenaan dengan pekerjaan rutin di rumah. Misal, memasak, cuci baju, jemur pakaian, bersih-bersih rumah, ngepel dan sebagainya.

Jadi kalau sudah terbentuk menjadi budaya keluarga, maka sebenarnya istilah "tukar peran" dirasa kurang tepat. Segala aktivitas dalam rumah tangga adalah tanggung jawab bersama dan membutuhkan peran semua anggota keluarga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun