"Cuma dapet dua order, Ka," katanya pelan. "Satu nganter makanan, satu jemput anak kampus."Â
Raka diam. Ia tahu, dua order berarti tak cukup untuk bayar listrik minggu ini.Â
Ayah membuka dompetnya, mengeluarkan uang lima puluh ribu yang sudah lecek. "Buat kamu besok. Kalau bisa, jangan jajan. Beli buku tulis aja."Â
Raka menatap uang itu. Ia ingin bilang, "Aku nggak butuh," tapi tahu Ayah akan tersinggung. Jadi ia hanya mengangguk.Â
"Ka," Ayah berkata lagi, suaranya pelan. "Kamu kuat, ya. Ayah tahu kamu sering diremehkan di sekolah. Tapi kamu anak Ayah. Kamu bukan cuma dari Klaten. Kamu dari mana pun kamu mau jadi."Â
Raka menunduk. Air matanya menetes tanpa suara.Â
"Ayah nggak bisa kasih banyak. Tapi, ayah percaya, kamu bisa lebih dari Ayah. Lebih dari ojol. Lebih dari kontrakan pinggir kali."Â
Raka memeluk Ayah malam itu. Pelukan yang jarang terjadi. Pelukan yang basah oleh hujan dan air mata.Â
---Â
Beberapa minggu kemudian, sekolah mengadakan lomba menulis cerpen. Tema: "Kota yang Membentukku."Â
Raka menulis tentang Kali Code, tentang Ayah, tentang seragam lusuh dan tekanan sosial. Ia menulis dengan jujur, tanpa hiasan. Ia menulis dengan hati.Â