Mohon tunggu...
Widha Karina
Widha Karina Mohon Tunggu... Penulis - Content Worker

seni | sejarah | sosial politik | budaya | lingkungan | buku dan sastra | traveling | bobok siang. mencatat, menertawakan keseharian, dan menjadi satir di widhakarina.blogspot.com dan instagram.com/widhakarina

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Mengasah Ingatan di Ternate dan Tidore melalui "Ikan-ikan Hiu, Ido, Homa"

26 April 2018   19:01 Diperbarui: 27 April 2018   10:00 3408
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Selamat datang di Spice Islands! Foto diambil di Danau Tolire, Ternate. | Foto oleh IVANA FRISILIA

"Gengsi adalah katak yang ingin menjadi sapi ...
Gengsi adalah perang saudara Ternate-Tidore yang tanpa kesudahan. (Berbeda dengan gengsi), harga diri masih membuka diri untuk penghayatan sejati Uli-Ampat, Ternate, Tidore, Bacan, dan Jailolo
."

Y. B. Mangunwijaya  dalam "Ikan-ikan Hiu, Ido, Homa" halaman 148

Akhir bulan lalu saya baru saja menyelesaikan sebuah novel sejarah "Ikan-ikan Hiu, Ido, Homa" yang ditulis oleh Y. B. Mangunwijaya. Novel ini mengisahkan riwayat Kesultanan Ternate dan Tidore pada masa kolonial Spanyol-Portugis-Belanda sekitar abad 16-17 dari sudut pandang Suku Tobelo yang setia dengan kebijaksaan dilikini (arwah leluhur) dan Jou Ma Dutu (pemilik semesta alam). Belakangan, saya menyesal baru membaca buku ini. Saya terlambat. Semestinya saya membacanya setahun lalu, tepat sebelum saya dan seorang kawan memutuskan untuk berkunjung ke Pulau Ternate dan Tidore di Maluku Utara.

Mengapa menyesal? Sebagai ilustrasi, kata-kata pembuka di atas, yang diucapkan melalui tokoh Tuan Haji Zainal Abidin sesungguhnya adalah kunci untuk memahami relasi rumit antara Ternate dan Tidore selama berabad-abad. Kata-kata tersebut, seharusnya dapat menjadi bekal saya menghadapi seorang bapak tua di kaki Benteng Tore yang merasa enggan berbicara tentang "kemajuan" Ternate dibanding Tidore.

"Kami setia dengan Indonesia, (dengan) Bung Karno. Ternate tidak, mereka Belanda," ujar Si Bapak Tua yang namanya tidak saya dengar dengan jelas karena beliau selalu berbicara patah-patah seperti menggumam dalam bahasa daerah. Lagipula saya masih sibuk menggeh-menggeh mengatur napas lantaran sudah berjalan kaki jauh naik dan turun tangga dalam keadaan ikutan puasa.

Iya, saat itu bulan Mei 2017, pertengahan bulan Ramadan. Saya dan rekan salah memilih tanggal berlibur padahal cita-citanya mau kulineran.

Mengapa memilih Ternate dan Tidore?
Kisahnya agak lucu. Sebenarnya saya dan Ivana tidak pernah punya cita-cita ke Maluku Utara. Awalnya kami merencanakan untuk pergi ke Labuan Bajo atau Gorontalo untuk sekadar mengikuti tren pariwisata yang menawarkan pantai-pantai bening yang tentunya dapat memberikan sedikit relaksasi pada dua pemudi ibu kota yang putus asa.

Apes, saat itu tiket promo ke Labuan Bajo seharga 900.000 PP sudah ludes di 30 menit pertama sejak Garuda Indonesia Travel Fair 2017 dibuka. Karenanya, mulailah kami sok-sok kreatif menebak destinasi alternatif. Dan muncul lah dialog ini:

Ivana: Gorontalo, Mbak.
Mbak travel: (Suara cetak-cetok mbak-mbak travel di laptop) PP ke Gorontalo 3,1 Mbak....
Widha dan Ivana: (Bisik-bisik) Masih mahal


Lalu seperti di sinetron-sinetron, saya dan Ivana berpandang-pandangan, yang kemudian diakhiri anggukan.


"Coba kalau Ternate, Mbak...."

Dan jadilah jiwa-jiwa yang kebelet liburan ini terbang ke Ternate dengan pesawat jawara se-Nusantara dengan harga kelas L ekonomi yang sebenarnya tidak murah-murah amat *nangis*. Tapi berhubung mbaknya bilang, "Kelas London (L) itu keluarnya dua tahun sekali lho Mbak. Ini murah banget." Hokelah kami percaya terutama karena Ivana dan Mbaknya sama-sama berasal dari Tanah Karo (iya, nggak ada hubungannya).

Dan dodolnya.... Kami beli tiket buat berangkat tanggal 30 Mei 2017. Setelah melalui beberapa kali miting itinerary, jeng jeng... baru ngeh kalau itu pas bulan puasa. Terus googling, Ternate dan Tidore itu kesultanan dengan akar sejarah keislaman yang kuat. Mak celeguk.

Untuk poin ini, kami sempat punya kisah seru, bagaimana kami mencoba ikutan puasa walau ibu homestay bersikukuh menyuruh kami membawa bekal penganan karena pasti tidak ada yang berjualan di luar sana. Lalu ketika jalanan sudah terlalu panas, kami juga sempat juga kebingungan mencari ceruk di pinggir jalan untuk mencuri-curi kesempatan minum. Tapi poin ini akan dibahas lain waktu pada tulisan selanjutnya.

Ternate dan Tidore, dan mengapa keduanya istimewa
Selama ini, jujur saja, saya tak mengenal Ternate dan Tidore selain dari memori ketika guru IPS SD mengucapkannya di muka kelas. Pelajarannya tentu saja tentang kerajaan Nusantara dan rempah-rempah berharga Indonesia yang diperebutkan oleh penjajah. Selesai.

Soal Maluku, selalu yang tersorot adalah Ambon, atau yang belakangan ini naik daun: Banda. Soal Banda, ketertarikan saya memang selalu berat pada unsur historis yang tersimpan pada suatu wilayah. Dan sudah sejak lama, saya mengidam-idamkan menginjakkan kaki di Banda Neira berkat kisah Hatta dan Sjahrir. Tambah menggebu berkat sejarawan dan seniman belakangan ini jamak mengangkat tema pala dan Jalur Sutra. Duh.

Sayangnya akses menuju Banda tak bisa dibilang mudah (tentu saja). Ongkosnya pun alamak mahalnya! Untuk sementara, saya harus meredam keinginan ke sana, dan oh! Saya dan Ivana sempat berpikir, "Bukankah semua Maluku adalah surga?" Termasuk juga Ternate dan Tidore yang awalnya kami pilih hanya berdasarkan cap cip cup dan harga tiket pesawatnya yang masih bisa dibilang terjangkau dibandingkan terbang ke Banda. Tapi siapa sangka, Ternate dan Tidore juga tak kalah istimewa.

"Welcome to spice island!" kata Ivana berkali-kali setiap kali ia memandang hamparan hutan cengkeh, kenari, pala, atau sekadar hijau-hijauan di punggung gunung yang tak kami ketahui apa namanya..

Itu dia salah satu yang istimewa dari kedua pulau ini: rempah. Awalnya, cita-cita Ivana datang ke Ternate dan Tidore memang untuk memandang langsung surga rempah-rempah dan membawa pulang kayu manis untuk teman minum teh *yailah*.

Mission accomplished ya Eda! Dua ikat kayu manis Ternate siap mewangikan teh-teh di meja kerja. | Foto oleh WIDHA KARINA
Mission accomplished ya Eda! Dua ikat kayu manis Ternate siap mewangikan teh-teh di meja kerja. | Foto oleh WIDHA KARINA
Sedikit berbeda dengan Ivana, saya sepakat ke sana untuk sekadar kabur dari kerjaan kantor (ups) dan berkunjung ke semua situs bersejarah di sana. Etapi setelah membaca "Ikan-ikan Hiu, Ido, Homa", ternyata masih banyak keistimewaan Ternate Tidore yang harus dikulik lebih dalam daripada sekadar modal googling saja. Apa sajakah itu?

1. Benteng
Setidaknya ada 1 benteng di Tidore (Tahula) dan 4 benteng di Ternate (Kastela, Kalamata, Tolokko, dan Oranje) yang disebut dalam "Ikan-ikan Hiu, Ido, Homa". Semuanya kami datangi dan betapa sedihnya kami karena tak ada penjaga yang menemani kami berjalan-jalan dan mengisahkan sejarahnya.

Tetapi ada juga benteng lain yang disebut oleh Mangunwijaya yang tak kami temukan keberadaannya. Sebaliknya, ada pula benteng lain yang kami datangi, tapi tak dimuat oleh Mangunwijaya (atau mungkin ditulis dengan penamaan berbeda?).

Penyesalan satu: kenapa juga datang ke Ternate dan Tidore hanya berbekal artikel googling-an. Akan lebih cakep bila terlebih dahulu membaca riwayat yang kredibel supaya bisa mengenang kisah-kisah yang pernah terjadi di situ dengan lebih layak.

Luput sudah kesempatan santai bengong-bengong sambil membayangkan perang singkat Portugis (pro-Tidore) dan Belanda (pro-Ternate) tahun 1601 yang berpusat di perairan Tidore dekat pusat kota Benteng Tahula.

Hilang sudah kesempatan membayangkan Benteng Nostra Senora del Rosario buatan Spanyol yang justru pernah menjadi simbol kekuatan Kesultanan Ternate pascapengusiran Portugis di bawah komando Sultan Babullah. Entah ruangan mana yang Sultan Said Barkat tawarkan untuk dihuni (namun ditolak) oleh Jougugu Hidayat. Entah, karena bentuknya sekarang sudah tak keruan.

Benteng Nostra Senora del Rosario di Ternate (kini disebut benteng Kastela). Katanya pernah diambil alih oleh Kesultanan Ternate dan dialihfungsikan dari markas Portugis menjadi istana/kedaton. | Foto oleh IVANA FRISILIA
Benteng Nostra Senora del Rosario di Ternate (kini disebut benteng Kastela). Katanya pernah diambil alih oleh Kesultanan Ternate dan dialihfungsikan dari markas Portugis menjadi istana/kedaton. | Foto oleh IVANA FRISILIA
Benteng Tolukko. Benteng ini hanya disebut beberapa kali (dua kalau saya tak salah) dalam buku
Benteng Tolukko. Benteng ini hanya disebut beberapa kali (dua kalau saya tak salah) dalam buku
  

2. Kedigdayaan 4 Kesultanan di Maluku Utara
Sesungguhnya kami sangat beruntung karena dapat berkunjung ke Kedaton Tidore dan Kedaton Ternate. Untuk Kedaton Tidore, kami hanya berkeliling di halamannya sedangkan di Ternate, kami diizinkan masuk istananya walau saat itu sang "abdi dalem" sudah bersiap-siap menanti ibadah sholat jumat.

Di dalam Kedaton Ternate kami disajikan sepenggal kisah tentang Kesultanan Ternate, Tidore, Bacan, Jailolo yang meski kerap berseteru, ternyata mereka adalah adik kakak (huhu).

Penyesalan nomor dua: hilanglah kesempatan mengurutkan keturunan Raja Babullah. Tentu kisah "Ikan-ikan Hiu, Ido, dan Homa" yang menuliskan era kepemimpnan Sultan Said Barkat dan Sultan Modafar, memiliki sisi rekaan sendiri meski dilandaskan pada dokumen sejarah (maka saya mau tahu di mana batas Romo Mangun menaruh fakta dan fiksi). Tak sempat pula saya bertanya-tanya tentang sistem Bobato (kepala masyarakat), Sangaji (bupati/kepala daerah), dan Kaicil (pangeran) pada era masa kini.

Untungnya saya sudah sempat momotret sejumlah artefak dan bagan silsilah kerajaan yang kelak akan saya bagikan dalam artikel-artikel saya selanjutnya.

Bagian dalam Kedaton Kesultan Ternate. | Foto oleh WIDHA KARINA
Bagian dalam Kedaton Kesultan Ternate. | Foto oleh WIDHA KARINA
Halaman Kedaton Kesultanan Tidore. | Foto oleh IVANA FRISILIA
Halaman Kedaton Kesultanan Tidore. | Foto oleh IVANA FRISILIA
  

3. Laut dan gunung
Di antara sekian banyak anak Mioti Lamo dan Loema Dara dalam "Ikan-ikan Hiu, Ido, dan Homa", ada dua yang kembar. Diberikannya nama Lobi Dia (artinya: awan-awan ke darat) dan Lobi Dai (awan-awan ke langit). Sungguh ia pasti merasa bersyukur atas langit dan bumi Maluku Utara yang memang luar biasa indah. Diberkati oleh Jou ma Dutu!

Ternate dan Tidore menyajikan kami laut di sebelah kanan dan gunung di sisi lainnya. Duh, kelewat cantik. Naik sedikit sudah ada pohon cengkeh, turun ke pasar dekat laut sudah tersedia ikan segar untuk dimasak gohu. Ya sedapnya!

Oh dan tentu saja saya belum menyebut air laut yang bahkan di pelabuhan pun terlihat bening! Huhuhu ..... Sayangnya agak susah menemukan spot nyemplung karena akses menuju pantai kok ya terjal. Selain itu kalau sudah nyemplung, susah membedakan mana air dangkal dan palung (aku kan ngeri). Pula banyak sampah yang ehem, ternyata sudah banyak memenuhi pantai walau airnya tetap jernih.

Penyesalan nomor 3, karena belum membaca informasi sebelumnya, bagi kami pantai hanyalah sekadar pantai untuk direnangi. Padahal di perairan tersebut pernah berlabuh galiun-galiun penuh meriam, galei, rorehe, dan segala bentuk kapal pedagang yang katanya mewah-mewah.

Di sini bukit, di situ sudah laut. Diambil dari halaman Benteng Tore, di Tidore. | Foto oleh WIDHA KARINA
Di sini bukit, di situ sudah laut. Diambil dari halaman Benteng Tore, di Tidore. | Foto oleh WIDHA KARINA
Tipikal pemandangan jika Anda berkendara di jalanan utama yang melingkari Pulau Ternate, Kanan kiri gunung sekaligus lautan. | Foto oleh WIDHA KARINA
Tipikal pemandangan jika Anda berkendara di jalanan utama yang melingkari Pulau Ternate, Kanan kiri gunung sekaligus lautan. | Foto oleh WIDHA KARINA
Cobak gimana ini kalau lagi naik motor terus di sampingnya ada pemandangan gini tapi gak bisa turun ke situ karena terjal. Tolong-tolong! | Foto oleh WIDHA KARINA
Cobak gimana ini kalau lagi naik motor terus di sampingnya ada pemandangan gini tapi gak bisa turun ke situ karena terjal. Tolong-tolong! | Foto oleh WIDHA KARINA
    

4. Masyarakat dan lain-lain
Penyesalan terakhir tentu saja ketakpekaan saya pada keunikan karakter masyarakat Ternate dan Tidore. Meski telah digempur oleh perang selama beratus-ratus tahun, warganya tetap kuat dan menggeliat bagaikan dua gunung kokoh yang menaungi mereka: Kie Matubu dan Kie Tobona/Gamalama.

Kedua gunung berapi ini, dalam "Ikan-ikan Hiu, Ido, Homa" menjadi metafora karakter kedua kesultanan yang terus berseteru dan menggelegak penuh amarah. Angkuh dan berbahaya, tetapi anggun dan digdaya.

Jika saya lebih awal mengetahui betapa dahsyat dan berakarnya perseteruan dua kesultanan pulau mungil ini, tentulah saya dapat memahami kata-kata bapak tadi, yang menyayangkan betapa pemerintah pusat kurang memerhatikan pulaunya yang setia kepada NKRI dibandingkan --menurutnya-- Ternate. Tetapi kepada saya yang seorang pendatang, ia berusaha menutupi rasa kecewanya karena toh Tidore dan Ternate bukan lagi lawan, melainkan sama-sama orang Indonesia. Dan bagaimana pun juga, leluhur Tidore dan Ternate pun aslinya adik kakak.

Keunikan lainnya saya lihat ketika mengamati tradisi orang Ternate, yang meskipun benci dengan Portugis (dan Spanyol), masih menggunakan kebiasaan Kaum Farang (sebutan untuk orang kulit putih) dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya menggunakan kata forno untuk kata ganti pemanggang/oven dan berpesta dansa ala senhor dan senhorita.

Pula tak ketinggalan tentang spiritualitas Islam yang demikian kental dalam pribadi orang-orang Ternate dan Tidore. Baik Ternate dan Tidore sempat pula mengalami konflik horizontal yang tahun 1999 menghantam seluruh tanah Maluku dan wilayah lainnya di Indonesia. Saat itu warga terbelah antara penduduk Islam, Islam dengan langgam tradisional kesultanan, dan Kristen serta Katolik.

Menurut cerita yang saya dan Ivana dapatkan dari beberapa orang lokal, peristiwa berdarah tersebut menimbulkan trauma yang cukup dalam. Dan masyarakat Ternate, Tidore, serta Maluku/Maluku Utara keseluruhan yang kita temui sekarang adalah masyarakat yang masih memulihkan diri untuk hidup rukun penuh ragam secara berdampingan tanpa saling menyakiti.

Pasar Sarimalaha di Tidore. Warga banyak datang untuk mencari makanan berbuka puasa. | Foto oleh WIDHA KARINA
Pasar Sarimalaha di Tidore. Warga banyak datang untuk mencari makanan berbuka puasa. | Foto oleh WIDHA KARINA
 

At the end... it does (even) matter
Ah, pokoknya terlalu banyak hal berkesan yang saya dan Ivana temui dalam perjalanan kami tahun lalu. Sesungguhnya saya sudah terlampau malas menuliskannya (karena tentu saja banyak detil yang sudah terlupa).

Namun perjumpaan dengan buku "Ikan-ikan Hiu, Ido, dan Homa" pada awal tahun ini menyadarkan saya betapa Ternate dan Tidore adalah pulau spesial yang sangat saya gemari sejarahnya. Dan sangat sayang bila tak saya dokementasikan dalam tulisan.

Maka dalam beberapa pekan ke depan, saya bakal menulis perjalanan saya ke Ternate dan Tidore yang akan ditulis spontan tanpa perencanaan tema. Kadang saya akan membagikan tips menuju ke sana, mengulas gosip kerajaan terkini (ini betulan, kami juga bergosip dengan penduduk setempat), atau bahkan sekadar meluapkan kegembiraan ketika nemu kudapan enak di pasar takjil. BTW jadi kesel nggak, ternyata artikel sepanjang ini cuma pembuka alias teaser? Aaaaahahaha.

Semuanya akan diulas dengan satu semangat, yakni: penyesalan! Jadi mohon maaf jika ke depannya saya bakal sering mengutip isi buku "Ikan-ikan Hiu, Ido, Homa"dan bacaan ini dan itu, lalu membandingkannya dengan situasi nyata yang dulu kami temui di lapangan (iya, soalnya aku norak!). BTW novel "Ikan-ikan Hiu, Ido, Homa" gak usah saya tulis resensinya yak brosis, soalnya sudah banyak yang nulis. Salah satunya ditulis oleh Tilaria Padika di Kompasiana.

Oke sampai jumpa di tulisan selanjutnya. Mudah-mudahan bisa terbit setiap hari Selasa ;)

Sampai sekarang belum ketemu sumber yang menjelaskan mengapa Y. B. Mangunwijaya bisa membuat novel sejarah yang menggunakan banyak sekali istilah-istilah lokal. Cakep banget. | Foto oleh WIDHA KARINA
Sampai sekarang belum ketemu sumber yang menjelaskan mengapa Y. B. Mangunwijaya bisa membuat novel sejarah yang menggunakan banyak sekali istilah-istilah lokal. Cakep banget. | Foto oleh WIDHA KARINA

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun