Sebuah Jeda: Untuk Semua Kenapa dan Mengapa

Saya ingin hidup yang tak sekadar tentang jam berangkat dan pulang. Saya ingin hari-hari yang tak hanya diukur dari saldo rekening atau target bulanan. Saya ingin waktu yang cukup untuk menjemput anak pulang sekolah, berbicara dengan istri tentang hal-hal kecil, atau sekadar tidur siang tanpa rasa bersalah.

Kadang saya muak dengan narasi motivasi yang berseliweran di media sosial --- "Waktumu habis di jalan, bukan untuk keluarga." Seolah-olah kita memang punya banyak pilihan di negara yang transportasinya masih setengah hati. Tapi ya, itu juga kenyataan yang pahit. Saya sendiri sedang hidup dalam pertarungan itu: antara idealisme dan realita, antara tuntutan dan kebahagiaan.

Menjadi dewasa bukan soal bisa membeli banyak barang, tapi tentang mampu memilah mana yang betul-betul dibutuhkan dan mana yang sebaiknya ditinggalkan. Kadang kita harus mengakui bahwa apa yang membuat kita lelah bukan pekerjaannya, tapi perjalanan menuju ke sana --- secara fisik dan batin.

Maka hari ini, saya tidak ingin terlihat kuat. Tidak ingin menjadi produktif. Tidak ingin jadi inspiratif. Saya hanya ingin menjadi manusia biasa yang sesekali merasa lelah dan memilih untuk diam.

Saya tidak tahu ke mana langkah ini akan membawa saya setelah ini. Tapi setidaknya hari ini saya mendengarkan tubuh saya sendiri. Mendengarkan suara hati yang selama ini saya bisukan karena terlalu sibuk dengan pekerjaan dan ekspektasi.

Mungkin saya belum bisa pindah kota. Belum bisa mulai dari nol di tempat baru. Tapi saya bisa memulai dari sini: dari keberanian untuk memberi jeda. Dari keikhlasan untuk berkata, "saya capek." Dari kejujuran untuk mengakui bahwa saya juga ingin hidup yang lebih baik, lebih damai, lebih bermakna.

Dan diam ini, bukan tanda menyerah. Tapi justru bentuk keberanian: untuk memilih tenang di dunia yang serba tergesa-gesa.