"Karena kadang, diam adalah bentuk paling tulus dari merawat diri."
Tidak apa-apa, kan, untuk merasa bingung sesekali? Tidak apa-apa, kan, untuk memilih bengong sejenak di tengah derasnya rutinitas yang menggilas? Hari ini saya mengambil cuti. Bukan karena ada agenda penting, bukan pula untuk berlibur ke tempat eksotis. Saya hanya ingin... diam.
Beberapa hari sebelumnya, saya sudah menandai tanggal ini di kalender kerja. Tanpa alasan, tanpa catatan, tanpa rencana. Hanya sebuah keputusan sederhana: mengambil jeda. Kadang tubuh dan pikiran tidak butuh jawaban rumit atau penjelasan panjang. Ia hanya ingin rehat. Saya ingin rehat. Maka hari ini, saya duduk di kamar kos, tanpa suara notifikasi, tanpa rapat daring, tanpa lalu-lalang dokumen. Hanya saya dan keheningan.
Mungkin beginilah rasanya menjadi dewasa: kita tidak lagi berisik mengumumkan bahwa kita lelah. Kita tidak mencari pengakuan bahwa kita pantas untuk istirahat. Kita hanya menarik diri perlahan, menepi dari arus, dan membiarkan dunia tetap berputar tanpa campur tangan kita sejenak.
Jakarta tetap ribut di luar sana. Kota ini tidak pernah benar-benar memberi ruang untuk bernapas. Pagi hari dimulai dengan dengungan mesin, klakson, dan desakan. Sore hari ditutup dengan letih yang mengendap dalam diam. Saya tahu saya bukan satu-satunya yang merasa demikian. Tapi tetap saja, ada hari-hari di mana rasa jenuh dan asing itu datang terlalu deras, membuat saya ingin pergi --- atau setidaknya menghilang sebentar.
Senin lalu, saya berangkat kerja pukul 06.40. Salah satu motor saya, yang biasa saya sebut si Darth Vader, ngadat tanpa aba-aba. Jadi saya terpaksa mengeluarkan si Biru dari garasi --- motor yang biasanya hanya saya pakai di akhir pekan. Suaranya cukup berisik, khas knalpot custom yang sengaja saya biarkan begitu, tapi kadang membuat saya risi juga saat dipakai kerja. Terlalu mencolok untuk hari biasa yang ingin saya jalani dengan tenang.
Tak jauh dari rumah, saya terjebak macet. Di depan sana, rupanya terjadi kecelakaan yang cukup parah. Ambulans datang silih berganti, dan saat saya melintas perlahan, saya melihat serpihan mobil dan motor berserakan. Saya tidak tahu pasti ceritanya, tapi cukup untuk membuat saya diam. Terpaku. Merenung.
Dalam perjalanan itu, saya melamun. Tentang hidup. Tentang keputusan-keputusan yang saya ambil. Tentang kota yang selama ini saya tinggali tapi makin hari terasa asing. Kadang saya bertanya: benarkah ini tempat yang saya mau? Atau saya hanya terseret dalam arus "bertahan" karena takut memulai ulang?
Lucu juga. Laki-laki memang punya kemampuan aneh --- melamun dalam-dalam sambil tetap cekatan memainkan kopling dan gas. Otomatis. Tanpa sadar, tubuh tetap berfungsi meski pikiran menjelajah entah ke mana.
Saya membayangkan hidup di kota lain. Kota yang lebih tenang. Ubud mungkin, atau Malang. Kota di mana saya bisa bangun pagi tanpa terburu-buru, mengantar anak sekolah, lalu pulang dan duduk di beranda sambil menyeruput kopi. Saya tahu, itu mungkin hanya angan. Tapi hari-hari terakhir ini, saya mulai percaya bahwa angan pun pantas diperjuangkan.