Mohon tunggu...
Bambang Wibiono
Bambang Wibiono Mohon Tunggu... Buruh - Buruh Sarjana | Penulis Bebas | Pemerhati Sosial Politik

Alumnus Ilmu Politik FISIP Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Mengurai Jejaring Korupsi di Indonesia (1)

24 Juni 2020   18:33 Diperbarui: 25 Juni 2020   19:06 246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sifat masyarakat Indonesia yang permisif atau mudah memaafkan turut melanggengkan tindakan korup ini yang cepat berubah menjadi kebiasaan dan budaya. Kebiasaan ini juga diperkuat dengan struktur birokrasi yang cenderung koruptif. Mungkin juga birokrasi koruptif lahir karena kebiasaan masyarakat kita. 

Jika melihat sejarahnya sejak jaman VOC hingga Orde Baru, sepertinya birokrasi koruptif ini yang menciptakan budaya korup di luar institusi negara, yaitu di tengah-tengah masyarakat. Aparatur negara melalui berbagai institusinya telah mengajarkan praktik-praktik korupsi. Akibatnya, amanat reformasi yang ingin memberantas KKN menjadi pekerjaan rumah yang sangat berat hingga sekarang.

Korupsi telah menjangkiti berbagai sendi kehidupan masyarakat. Bahkan mungkin, sejak kecil kita sudah terbiasa "terdidik" korupsi, kolusi, dan nepotisme. Mari ambil contoh. Saat kecil kita pernah atau bahkan sering dijanjikan atau diberi imbalan setiap diminta menyelesaikan suatu pekerjaan oleh orang tua. Sampai timbul seorang anak enggan bergegas melaksanakan perintah orang tua jika tanpa imbalan. Dilaksanakan dengan bermalas-malasan.

Secara tidak sadar, perilaku ini mendidik alam bawah sadar kita hingga dewasa. Seorang abdi negara pelayan publik akan bermalas-malasan mengurus permohonan masyarakat jika tanpa imbalan. Orang awam menyebutnya, uang pelicin.

Maka tidak heran jika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebutkan, sejak tahun 2004-2018, kasus terbanyak yang berhasil ditangani KPK adalah perkara penyuapan sebanyak 564 kasus (Laporan Tahunan KPK, 2018).

Mohtar Mas'oed, dalam bukunya Politik, Birokrasi dan Pembangunan (Pustaka Pelajar, 1999), menyebutkan bahwa masyarakat Indonesia mempunyai faktor budaya yang dapat mendorong timbulnya korupsi. Pertama, adanya tradisi pemberian hadiah, oleh-oleh, kepada pejabat pemerintah.

Kedua, orang Indonesia lebih mementingkan ikatan keluarga dan kesetiaan parokial lainnya. Dalam masyarakat Indonesia, kewajiban seseorang pertama-tama adalah memperhatikan saudara terdekatnya, kemudian trah atau sesama etnisnya. Sehingga, seorang saudara yang mendatangi seorang pejabat untuk meminta perlakuan khusus, sulit ditolak.

Jika berkaca pada contoh itu, pantaslah kiranya kalau persoalan korupsi begitu menggurita. Karena bagi pemberi dan penerima sama-sama memaklumi, sehingga menjadi sesuatu yang dianggap "wajar". Beberapa contoh kecil tersebut, secara tidak langsung menjadi embrio bagi budaya korupsi di Indonesia.

Pendidikan Korupsi di Dunia Pendidikan

Berikutnya, selain korupsi telah memiliki akarnya dalam budaya masyarakat, ini diperkuat lewat struktur pendidikan. Bagaimana praktek-praktek korupsi ini tumbuh di dunia yang seharusnya bebas dari hal negatif yang bertentangan dengan norma?

Sebagai orang tua murid terkadang memberikan bingkisan saat pembagian rapot, sebagai tanda terima kasih katanya. Bahkan di waktu-waktu yang lain, orang tua menitipkan oleh-oleh atau hadiah kepada anaknya untuk diberikan kepada guru atau wali kelasnya. Akhir-akhir ini baru kita tahu kalau itu adalah gratifikasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun