- menjadi benar menjadi bahagia -
Tubuhnya masih terlihat jangkung meskipun ia duduk menghadap meja kerjanya. Di tangannya menempel satu hape yang membuatnya menikmati percakapan dengan Bagong di ujung sana.
"Aku tidak bisa begitu, Gong. Bukan karena aku tidak mau. Aku mau, mau saja. Tetapi aku juga memikirkan etika dan alam bawah sadarku," katanya serius menghadap telepon yang ia taruh di meja.
"Biyuh-biyuh, Truk? Kita perlu Truk! Tanda seru itu! Semua perlu, dengan banyak tanda seru!" bantah Bagong.
Petruk harus menghela napas, mencermati kata-kata Bagong.
"Yang perlu itu kamu, Gong. Posisi kamu. Rakyat iya perlu, tapi buat aku, caranya tidak begitu! Jadi kesimpulanku, yang perlu, yang butuh itu, kamu! Tanda seru, kalau perlu dua tanda seru. Rakyat aku pikir perlu, tapi ada cara yang benar," kata Petruk.
"Kamu mau bilang caraku ini salah?" bantah Bagong.
"Lho, iya to! Orang ada dana entah dari mana belum tahu, bahkan masih dicari. Tetapi kamu mendesak saya mejadi rekananmu, untuk tanda tangan MOU proyek. Lho yang fair saja to! Kamu tahu aku menjadi seperti ini tidak secara instan, tiba-tiba, suddenly, ujug-ujug! But by proses. Dan menjadi benar, Gong!"
"Waduh, susah benar melobi kamu, Truk," kata Bagong.
"Sudahlah, kita ini keluarga, Gong. Kamu perlu hati-hati. Aku ingatkan jangan sembrono. Itu yang pertama. Nah, yang kedua, kembali lah ke jalan yang benar."
"Kamu bilang caraku salah?" bagong menyela.