Puncaknya ketika beliau mengangkat kursi panjang. Lalu dilemparkannya ke arah kami. Untung kursi itu jatuh di depan kami. Tidak jadi mengenai kami yang sudah menangis sejadi-jadinya.
Kini saya melakukan kesalahan yang sama.
Untuk sementara, saya diminta menunggu di gudang sekolah. Di belakang mushola. Saya ngeri. Tempat itu gelap. Tertutup dari yang lain. Tamatlah sudah: begitu pikir saya.
Wali kelas saya datang. Menghampiri saya. Masih dengan alat bantu bendirinya itu. Wajahnya tampak sangat prihatin. Saya pun pasrah. Menunduk. Memejamkan mata.
Tangan beliau menyentuh kepala saya.
Dielus-elus kepala saya. Lalu berkata: "Ndra.. kowe ki sakjae pinter. Aku reti. Aku percoyo kowe iso. Wis, kono bali nang kelas."
Saya pergi. Menangis sejadi-jadinya. Di dalam hati. Bukan karena sedih. Tapi terharu.
Sejak saat itu, saya bertekad belajar lebih giat. Saya tidak ingin mengecewakannya karena sudah mau mempercayai anak sebodoh saya.
Oleh karenanya, saya percaya tidak perlu menjadi pendidik yang galak. Yang ditakuti. Hanya agar mereka mengikuti apa yang kita perintahkan.
Bila kamu berikan mereka kepercayaan dari hatimu. Setulus-tulusnya. Mereka akan melakukan hal yang sama. Karena kamulah sosok panutan bagi mereka. Bukan sosok monster yang harus ditakuti.
Meskipun ketegasan itu tetap diperlukan.