Lembaga pendidikan ini menjadi aktor penting dalam penyebaran dan pertumbuhan bahasa Tionghoa di Indonesia.Â
Namun, sistem pendidikan bahasa Mandarin di Indonesia belum memenuhi standar internasional. Badan resmi negara China telah mengelola kompetensi bahasa China, yang disebut Hanyu Shuiping Kaoshi (HSK). Namun, hal ini belum diikuti secara menyeluruh di Indonesia.Â
Willy Berlian, Ketua Federasi Pendidikan Tionghoa Indonesia mengatakan bahwa meskipun sistem sekolah formal telah menambahkan pendidikan bahasa Mandarin dan memasukkan bahasa Mandarin ke dalam pengajaran bahasa asing, mengintegrasikan sepenuhnya pendidikan bahasa Mandarin ke dalam sistem pendidikan Indonesia masih sulit. Itu karena tidak ada aturan atau standar yang diterapkan oleh lembaga bahasa China di Indonesia, yang berarti banyak orang hanya mengacaukannya.Â
Selain itu, kurangnya tenaga pengajar juga menghambat pengajaran bahasa Mandarin di sekolah umum.
Upaya pemerintah yang tidak memadai untuk mempromosikan bahasa Mandarin Hingga tahun 2005, belum ada perguruan tinggi di Indonesia yang memiliki program pendidikan guru bahasa Mandarin.Â
Peraturan pemerintah mengharuskan sebuah universitas memiliki minimal enam dosen dengan kualifikasi master dalam pendidikan bahasa Mandarin.Â
Selama perguruan tinggi tidak menyediakan program studi pendidikan bahasa Mandarin, sulit bagi Indonesia untuk menghasilkan guru bahasa Mandarin.Â
Didukung oleh komunitas Tionghoa di Indonesia, Kementerian Pendidikan Republik Indonesia berupaya meningkatkan jumlah kursus bahasa Mandarin di berbagai lembaga pendidikan formal di berbagai provinsi.
Jumlah kursus bahasa China telah berkembang pesat. Dari empat kota besar yaitu Jakarta, Surabaya di Jawa Timur, Bandung di Jawa Barat, dan Medan di Sumatera Utara pada tahun 2000, menyebar ke 20 provinsi di Indonesia pada tahun 2019.Â
Pemerintah Indonesia juga telah berupaya mengirimkan staf pengajar ke China untuk mengikuti pelatihan pengajaran bahasa Mandarin dan mengundang instruktur bahasa Mandarin ke Indonesia.
Namun, ini tidak terlalu berhasil karena sekolah harus membayar biaya visa untuk mempekerjakan guru baru, dan banyak sekolah tidak mampu membayar biaya tersebut.