Misalnya, sebelum 2011, kurang dari 12% pemerintah daerah mengadopsi dan mengesahkan UU Bangunan 2002 . Pada tahun 2016 angka tersebut telah meningkat menjadi 60%Â -- sebuah peningkatan, tetapi masih belum cukup.
Di Lombok Utara, di mana sebagian besar rumah runtuh akibat gempa, pemerintah daerah baru mengesahkan peraturan pembangunan nasional pada tahun 2011. Perlu waktu bertahun-tahun bagi pemerintah daerah untuk benar-benar menerapkannya.
Untuk menyelamatkan nyawa, kita perlu bergerak melampaui gagasan bahwa penilaian risiko yang sempurna itu ada.
Langkah-langkah mitigasi seismik perlu segera dimulai, di tingkat lokal. Ribuan bangunan dibangun setiap hari dan saat ini, sementara banyak yang dibangun kembali setelah bencana, adalah waktu bagi pemerintah daerah untuk mempraktekkan kode dan standar yang ada di tingkat nasional.
Pemerintah daerah dan pusat dapat merangkul inovasi. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah di Indonesia harus fokus mengubah cara membangun rumah, termasuk memeriksa kesiapsiagaan gempa saat mengeluarkan izin mendirikan bangunan.
Bisakah pemerintah daerah secara ekstrim mengaudit semua rumah yang rentan? Dan bisakah kita membuat mesin birokrat lokal yang bisa menangani penilaian risiko pada setiap rumah di daerah rawan gempa?
Ini mungkin tampak sulit, tetapi praktik yang baik sudah tersedia. Selain menciptakan insentif bagi insinyur lokal, kontraktor, dan konsultan bangunan untuk memperhatikan tindakan seismik, pemerintah daerah juga dapat secara bertahap mengaudit bangunan publik yang kritis, yang sangat penting untuk tanggap bencana (dan mungkin sangat berbahaya jika runtuh).
Ini akan membutuhkan reformasi ekstrim dalam administrasi publik, termasuk pembangunan di tingkat lokal. Tanpa perubahan ekstrim ini, status quo akan tetap ada dan orang-orang akan terus terbunuh oleh rumah mereka ketika gempa bumi sedang hingga besar melanda wilayah mereka.