Ade mengklaim bahwa saat ayahnya terjaring operasi tangkap tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tidak ada transaksi suap yang sedang berlangsung dan ayahnya tidak membawa uang sepeser pun.Â
Pernyataan yang dilontarkan Ade tersebut viral setelah akun Instagram @infobekasi.coo mengunggah video yang menayangkan pernyataan dari Ade.Â
"Saksinya banyak, staf yang di rumah itu saksi semua. Bagaimana Pak Wali dijemput di rumah, bagaimana Pak Wali hanya membawa badan. KPK hanya membawa badan Pak Wali, tidak membawa uang sepeser pun," ungkap Ade, Sabtu (8/1/2022).Â
Ade juga menjelaskan bahwa bukti yang saat ini dipegang KPK merupakan hasil dari pengembangan kasus, bukan uang yang dibawa saat OTT di rumah dinas Wali Kota Bekasi, Rabu (5/1/2021).Â
"Bahwa Pak Wali bersama KPK tidak membawa uang dari pendopo. Uang yang ada di KPK itu uang yang ada di iuaran dari pihak ketiga, dari kepala dinas, dari camat. Itu pengembangan, tidak ada OTT," ujar Ade.Â
Ade menganggap bahwa OTT tersebut adalah upaya pembunuhan karakter terhadap ayahnya dan juga Partai Golkar yang menaungi Rahmat Effendi. "Memang ini pembunuhan karakter, memang ini kuning (Golkar) sedang diincar. Kita tahu sama tahu siapa yang mengincar ini. Tapi nanti di 2024, jika kuning koalisi dengan oranye, matilah warna yang lain," tambah Ade yang juga menjabat sebagai Ketua DPP Golkar Bekasi.
Diketahui, Ayah Ade Puspita, adalah Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi dalam operasi tangkap tangan (OTT) KPK di Kota Bekasi, Jawa Barat, Rabu (5/1/2022). Â "Informasi yang kami peroleh, tangkap tangan ini terkait dugaan korupsi penerimaan janji atau hadiah pengadaan barang dan jasa serta lelang jabatan di lingkungan Pemkot Bekasi," kata Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri dalam keterangannya, Kamis (6/1).
Baca: Modus Korupsi Kepala Daerah Bekasi yang Tak Kunjung Usai
Motif ini mengingatkan bahwa standar anti-suap juga bukannya tidak berkembang. masih dalam karya Jhon T. Noonan Jr., Bribes: The Intellectual History of a Moral Idea, Berkeley: University of California Press, halaman 6 dan 9, diceritakan kejadian di Mesir sekita tahun 2000SM. Seorang petani bernama Khun-Anup mendatangi Rensi, pembantu utama Firaun, untuk mengadukan ternaknya yang dicuri. Atas perintah Firaun yang coba membuktikan kebenaran laporan petani itu, Rensi memukuli Khun-Anup yang terus meratap "Yang Mulia, mohon tegakkan demi Tuhan Keadilan, satu-satunya pegangan keadilan". Setelah kesembilan kali, Firaun memerintahkan Rensi memenangkan Khun-Anup , dan "itulah bagi sang hakim arti standar (keadilan) yang tidak didasarkan pada resiprositas, Hammurabi, perintis hukum yang paling masyhur di zaman kuno, sudah menetapkan hukuman bagi hakim yang mengubah putusan--ia harus didenda, dicopot, dan dilarang bertugas sebagai hakim di masa depan. Sebab, tidak ada alasan mengapa seorang hakim mengubah putusannya kecuali ia telah disuap. Tema tentang hakim yang dapat membuat putusan tidak adil karena suap sudah dikenal luas pada era 1700SM.
Terakhir, sebagaimana mustahil untuk tidak menjilat madu atau racun yang ada di ujung lidah, begitu pula tidak mungkin bagi pegawai pemerintah untuk tidak 'makan' sekurangnya sedikit dari kas sang raja. Sebagaimana ikan di air tidak mungkin diketahui apakah ia minum atau tidak minum, demikian juga sulit dikenali ketika para pegawai yang bekerja di pemerintahan menggelapkan uang negara bagi keuntungan mereka sendiri. Bahkan masih mungkin kita tahu rute terbang burung-burung di langit tetapi begitu sulitlah kita memasukkan gerak-gerik  para pegawai yang bekerja dengan maksud tersembunyi.
Â