Joel Hurstfield, sejawarawan yang dikenal mendalami seluk beluk pemerintahan dan masyarakat Inggris abad ke-16 dan ke-17, menemukan keanehan tentang konsep korupsi ketika ia meneliti Robert Cecil tahun 1563-1612, seorang politisi, menteri, dan diplomat dalam pemerintahan Ratu Elizabeth I, ratu Inggris dari 1568 hingga 1603.Â
Ia mengingatkan bahaya cara berpikir anakronistis dalam studi korupsi, kesesatan menggunakan pengertian korupsi dewasa ini 'seolah-olah paham itu telah berlaku di zaman kuno', padahal kata korupsi tidak punya kekuatan arti dan malah membingungkan sampai abad ke-19.Â
Awal abad ke-20, ketika dalam menegosiasikan kontrak pemerintah dengan suatu perusahaan, seorang pejabat negara menerima hadiah dari perusahaan itu, ia akan dijerat pidana. Akan tetapi, itu persis berkebalikan dengan situasi abad ke-16, seorang pengusaha atau industrialis yang menemui pejabat negara tanpa membawa hadiah sama dengan buang-buang waktu.Â
Dalam kajian antologi historiografi korupsi dan anti-korupsi dari zaman kuno hingga modern diajukan peringatan semacam:
Agar kita dapat memahami perkembangan arti sejak masa silam, korupsi seharusnya diteliti dengan cara pandang abad ke-21. Semakin jauh ke masa silam, semakin kita perlu siap memahami arti korupsi dalam kegagapan.
John T. Noonan Jr., seorang pakar hukum dan sejarah evolusi konsep suap, menemukan konsep korupsi menempuh perjalanan panjang dan tidak linear. Dengan mendayagunakan konsep suap sebagai indikator bagi pengertian korupsi, ia mendapati bahwa 'suap memang konsep hukum' tetapi ternyata definisi hukum tidak banyak membantu. Suap punya hidup dan sejarahnya sebagai konsep moral, tertanam dalam tradisi moral suatu masyarakat, tidak punya makna yang selalu sama, dan juga terus mengalami transformasi.Â
Entah di masyarakat kuno Mesopotamia, Mesir, Yahudi atau Yunani, norma yang berlaku adalah bahwa resiprositas merupakan aturan hidup bersama. Rantai memberi dan menerima hadiah merupakan tata bahasa resiprositas. Pola ini ditemukan di semua masyarakat kuno, dari Amerika Utara, Melanesia, Oceania, Australia sampai masyarakat Romawi dan Jerman.Â
Dikisahkan, misalnya, peristiwa sekitar 1500 SM yang menyangkut Kushshiharbe wali kota Nuzi, Mesopotamia dan Peskilisu pembantunya. Kasusnya terkait seorang warga bernama Hinzurima, yang sedang berpekara dengan seorang yang bernama Katiru. Di pengadilan, Hinzurima menyatakan bagaimana ia telah memberi hadiah berupa satu domba, semangkuk perunggu, dua almari, dan enam keping perak murni kepada Peskilisu agar wali kota Kushshiharbe membantu perkaranya. Peskilisu malah memukuli Hinzurima dan tidak melakukan apa-apa pada perkara itu. Baik Peskilisu maupun wali kota Kushshiharbe tidak memberi balik setelah menerima hadiah, lalu mereka dinyatakan bersalah, dalam karya Jhon T. Noonan Jr., Bribes: The Intellectual History of a Moral Idea, Berkeley: University of California Press, halaman 5.
Tentu, sejarah tidak pernah berderap linear. Penyempitan arti korupsi akan selalu ditantang dan dipertanyakan lagi. Pengertian korupsi yang lebih luas selalu berdesak-desakan menuntut untuk tetap diakomodasi dalam kalkulus pemikiran dan pembentukan tatanan masyarakat.
Apa yang jelas terlihat, arti korupsi erat melekat pada pertarungan kekuatan-kekuatan politik, ekonomi sosial, dan kultural yang terlibat di dalamnya. Dan dengan itu juga pertarungan paham moral.Â
Baru-baru ini, viral di media sosial, sosok Ade Puspitasari, putri dari Wali Kota non-aktif Bekasi Rahmat Effendi angkat bicara soal penangkapan ayahnya.