Hujan. Bukan hanya air. Bukan sekadar jutaan air yang jatuh dari langit. Bukan hanya itu. Tapi sesuatu selalu terjadi saat dia turun. Sesuatu yang lebih dingin dan menohok. Sesuatu yang sulit ditinggalkan otomatis tercipta saat dia turun.
  Kenangan.
  Isak tangis wanita itu semakin membesar, tapi tidak cukup melawan besarnya gemuruh sore ini. Tangan-nya mengepal, lagi.Â
  "Aku tidak butuh itu, Al." ucap Endah lirih. Dia tak peduli dengan dinginnya air yang sedari tadi menimpa dirinya dan juga Al.
  Al kesekian kalinya menghela napas pelan. Ia bingung harus dengan kata apa lagi agar perempuan di depannya itu mengerti. Ini terlalu sulit untuknya.Â
  "Aku tahu," ucap Al ragu. Ia tidak ingin sepatah katapun menyakiti gadis kecil di depannya.Â
  "Tapi, orang tuamu yang membutuhkan itu, Dah." Ucap Al terpaksa. Suaranya serak. Ia ingin memeluk gadis di depannya, namun tak bisa. Al mendongak menatap langit sore yang begitu gelap. Air-air turun dan menusuk kulit wajahnya. Dia khawatir, hujan ini bisa saja membuat Endah sakit.
  Endah menunduk diam dalam isak tangisnya. Dadanya semakin sesak. Dia tidak ingin melepas Al. Siapapun penghalangnya. Apapun alasannya. Ia tidak akan pernah bisa.
  "Aku tidak peduli mereka, Al!" teriak Endah, tetap menunduk. Ia tidak berkuasa menatap mata Al. Takut jikalau itu adalah terakhir kalinya dia menatap mata coklat itu.Â
  "Asal kau disini, itu cukup bagiku Al. Apa kau tidak lagi peduli padaku?" tanya Endah, amat sakit. Ia menahan itu agar tidak keluar. Tapi, Al adalah hidupnya.
  Al tersenyum kecut. "Aku sayang padamu. Kau tahu itu. Tapi mereka adalah orang tuamu. Aku tidak bisa membawamu pergi, mereka tidak menyukaiku. Tidak, mereka jelas membenciku." jawab Al penuh penekanan.