Masih ingat hoaks yang beredar di awal pandemi bahwa vaksin COVID-19 mengandung microchip untuk melacak kita? Atau hoaks yang mengklaim bahwa booster vaksin bisa menyebabkan kemandulan? Meskipun terkesan konyol, jutaan orang mempercayainya, dan dampaknya jauh lebih serius dari sekadar salah paham.
Hoaks bukanlah sekadar berita sepele yang berhenti di layar smartphone kita. Ia adalah virus yang menyebar secara digital, tetapi dampaknya terasa langsung di dunia nyata, merusak kesehatan, meretakkan hubungan, dan bahkan mengancam stabilitas sosial.
Dari Layar ke Luka Nyata
Dampak paling berbahaya dari hoaks adalah kemampuannya untuk memicu kerugian fisik. Hoaks kesehatan, misalnya, bisa sangat fatal. Berita palsu tentang vaksin atau pengobatan alternatif yang tidak valid dapat membuat orang menolak perawatan medis yang terbukti efektif, bahkan saat nyawa mereka dipertaruhkan. Kita melihatnya selama pandemi COVID-19, di mana banyak orang meninggal karena mereka lebih memercayai hoaks tentang obat herbal atau teori konspirasi daripada anjuran medis.
Tidak hanya mengancam nyawa, hoaks juga merusak fondasi sosial kita. Di ranah politik, hoaks adalah senjata untuk memanipulasi opini publik. Hoaks tentang SARA (Suku, Agama, Ras, Antargolongan) atau klaim kecurangan pemilu sering digunakan untuk memecah belah masyarakat, mengikis kepercayaan pada lembaga-lembaga demokrasi, dan memicu konflik yang berujung pada kekerasan.
Konsekuensi Jangka Panjang
Selain itu, dampak hoaks juga bersifat pribadi. Hoaks dapat menghancurkan reputasi seseorang atau sebuah organisasi dalam sekejap, bahkan jika informasi itu terbukti palsu. Hoaks juga bisa merusak hubungan personal. Berapa banyak pertemanan atau hubungan keluarga yang retak karena perbedaan pandangan politik yang dipicu oleh hoaks yang viral?
Pada akhirnya, hoaks adalah bukti nyata bahwa singularitas sosial---di mana fakta dan fiksi memiliki bobot yang sama---bukanlah sekadar teori. Itu adalah realitas yang kita hadapi setiap hari. Dampak-dampaknya sudah terlihat jelas di sekitar kita, dari ketidakpercayaan yang mendalam hingga konflik sosial.
Di seri berikutnya, kita akan melihat seberapa dekat Indonesia dengan titik kritis ini dan apa saja tanda-tandanya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI