Sebulan yang lalu, ibuku menerima hasil panen padi. Penggarap lahan mengatakan padi dalam karung hasil panen masih basah. Karena cuaca mendung terus, kami juga tidak sempat menjemur padi tersebut, dan langsung menjualnya. Akibatnya padi tersebut dihargai murah.
Pergeseran Musim yang Membingungkan Petani
Kejadian yang menimpa ibuku ini bukan anomali. Ini adalah cerminan nyata dari fenomena "kemarau basah" yang makin sering kita alami di Indonesia. Bayangan kita tentang musim kemarau yang identik dengan langit cerah dan matahari terik kini mulai memudar. Seharusnya, di bulan Juni ini, para petani sudah bisa menjemur hasil panen mereka di bawah sinar matahari penuh. Namun, yang terjadi justru sebaliknya: mendung tebal dan hujan sesekali masih kerap menyapa, membuat proses pengeringan hasil panen menjadi sangat sulit. Pola musim yang tidak lagi mengikuti kebiasaan ini membuat petani bingung dan sulit merencanakan masa tanam hingga panen. Mereka tak bisa lagi mengandalkan "penanggalan" alam yang diwarisi turun-temurun.
Dampak Berantai pada Ekonomi dan Kesejahteraan
Dampak dari "kemarau basah" ini sangat terasa, tidak hanya pada satu keluarga, tapi meluas ke seluruh sektor pertanian dan berimbas pada rantai ekonomi. Padi yang tidak bisa dikeringkan sempurna, seperti yang dialami ibuku, terpaksa dijual dengan harga jauh di bawah standar. Bagi petani, ini berarti penurunan pendapatan yang signifikan. Modal yang dikeluarkan untuk bibit, pupuk, dan tenaga kerja tidak sebanding dengan hasil penjualan. Jika ini terus terjadi, bukan tidak mungkin banyak petani terjerumus ke dalam lingkaran utang atau bahkan terpaksa meninggalkan profesi mereka. Pada skala lebih besar, penurunan kualitas dan kuantitas hasil panen akibat cuaca tak menentu ini dapat mengancam ketahanan pangan nasional dan memicu kenaikan harga bahan pokok di pasaran.
Perubahan Iklim: Alarm yang Berbunyi Keras
Fenomena "kemarau basah" ini adalah salah satu indikator paling jelas dan nyata dari perubahan iklim yang sedang kita hadapi. Ini bukan lagi sekadar isu global yang dibicarakan di konferensi internasional, melainkan masalah lokal yang langsung memengaruhi dapur rumah tangga kita. Peningkatan suhu global dan pergeseran pola cuaca ekstrem, seperti El Nino atau La Nina yang kini semakin tidak terduga, mengubah wajah musim di Indonesia. Kita tidak bisa lagi menutup mata dan menganggapnya sebagai "musim yang aneh". Ini adalah panggilan darurat bagi kita semua untuk menyadari bahwa iklim sedang berubah, dan dampaknya sudah di depan mata.
Mendesaknya Adaptasi dan Aksi Nyata
Menghadapi kenyataan ini, sudah saatnya kita tidak hanya berbicara tentang mitigasi, tapi juga adaptasi. Pemerintah dan seluruh elemen masyarakat harus bergerak cepat. Bagi sektor pertanian, perlu ada strategi pertanian cerdas iklim yang lebih masif. Ini bisa berupa pengembangan varietas padi yang tahan terhadap kelembaban tinggi, inovasi teknologi pengeringan pasca-panen yang tidak bergantung pada sinar matahari, atau penyediaan informasi iklim yang lebih akurat dan mudah diakses oleh petani.
Selain itu, edukasi kepada masyarakat tentang dampak perubahan iklim dan cara mengantisipasinya harus digencarkan. Kita tidak bisa lagi hanya berharap pada "kemurahan" alam, melainkan harus proaktif beradaptasi dan membangun ketahanan. Kejadian yang menimpa ibuku dan para petani lainnya adalah peringatan keras bahwa kita harus berubah.
Merangkul Perubahan, Membangun Ketahanan