Daya ungkit perjuangan WALHI dalam beberapa tahun terakhir semakin difokuskan untuk melawan kebijakan negara yang berpotensi menjadi sumber kerusakan itu sendiri. Titik kritik paling mendasar terletak pada gugatan terhadap UU Cipta Kerja (UUCK), di mana penghapusan izin lingkungan diganti dengan persetujuan lingkungan.
Perubahan regulasi ini secara fundamental mereduksi aspek kehati-hatian negara dan membatasi partisipasi publik, sehingga kontrol masyarakat menjadi sangat lemah. Ironisnya, meskipun WALHI sering memenangkan argumen etika dan moral di ranah hukum, kemenangan-kemenangan ini kerap tenggelam di bawah bayang regulasi yang terus memfasilitasi eksploitasi.
Keberadaan WALHI yang konsisten menyuarakan kerusakan ekologis menjadi indikasi buruk kegagalan negara dalam mengemban amanat konstitusi (Pasal 28H UUD 1945). Kritik WALHI semakin menunjukkan bahwa negara, melalui kebijakan investasi, seakan berdiri sejajar dengan korporasi, alih-alih menjadi pelindung rakyat.
Ini terlihat pada kasus konflik Rempang Eco-City, di mana perlawanan masyarakat yang didampingi WALHI berujung pada penangkapan dan intimidasi; ini menunjukkan bagaimana pasal-pasal pidana justru diaktifkan untuk melindungi investasi, bukan rakyat.Â
Akibatnya, perjuangan keadilan ekologis ini menjadi semakin kritis dan menempatkan WALHI serta pejuang lingkungan dalam posisi yang rentan secara hukum.Â
Tantangan Keadilan Ekologis di Simpang Jalan Regulasi Pembangunan
WALHI telah memberikan semua yang mereka miliki: data, argumen hukum dan lainnya. Realitas lingkungan yang terus memburuk adalah refleksi bahwa perjuangan ini tidak cukup hanya dilakukan oleh organisasi sipil.
Kritik konstruktif terhadap WALHI seringkali menyoroti sejauh mana organisasi ini mampu mengonversi kemenangan hukum menjadi perubahan kebijakan di tingkat eksekutif. Dengan pola pembangunan yang kian tersentralisasi dan didukung penuh oleh regulasi.
Tantangan terbesar WALHI ke depan adalah merebut kembali ruang tawar politik agar suara keadilan ekologis mereka tidak hanya menjadi kritik moral, melainkan kekuatan yang mampu membatalkan proyek-proyek perusakan alam.
WALHI telah menempatkan cermin besar bagi bangsa Indonesia di simpang jalan pembangunan ini, menunjukkan pilihan antara kehancuran dan kelestarian. Giliran kita seluruh masyarakat untuk ikut berperan serta menentukan apakah daya ungkit kolektif kita cukup kuat untuk memilih jalan keadilan ekologis, sebelum alam benar-benar terenggut.
Jika keadilan ekologis tidak diletakkan sebagai fondasi utama pembangunan, bukan hanya lingkungan yang menderita, tetapi kedaulatan dan masa depan Indonesia.