Mohon tunggu...
Wawan Ridwan AS
Wawan Ridwan AS Mohon Tunggu... Penacinta

Konsep, Sikap, Action menuju Good Respect.

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Saat Kinerja dan Etika Sama Buruk, Apa yang Tersisa dari Profesionalisme Kepemimpinan Kluivert?

13 Oktober 2025   20:57 Diperbarui: 13 Oktober 2025   21:13 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Seorang pemimpin sejati adalah disaat badai kegagalan menerpa, sanggup berdiri paling depan, memikul tanggung jawab moral, menunjukkan empati. Tanpa etika, kinerja hanya angka, saat kinerja nol, etika adalah satu-satunya yang dapat menyelamatkan martabat"

Saat Ma Ning wasit asal China meniup peluit kekalahan Timnas 0-1 atas Irak, menandai pupusnya harapan Indonesia ke Piala Dunia 2026. Seluruh suporter baik di tribun maupun didepan layar kaca harus tertunduk lesu.

Pasca pertandingan tersebut seluruh pemain menghampiri suporter di Stadion King Abdullah Sports City, Jeddah, Arab Saudi pada Minggu dini hari kemarin (12/10), tapi tidak dengan Patrick Kluivert dan para staf kepelatihannya, mereka tetap duduk di bench.

Situasi ini semakin menambah kegeraman suporter, sampai-sampai La Grande Indonesia "... setelah kalah melawan Irak pun anda tidak mampu untuk berjalan, menemui kami, para suporter yang sudah berdiri sejak pertama putaran"

Kritik tajam datang pula dari Penasihat Semen Padang sekaligus Anggota DPR RI, Andre Rosiade. Ia menyoroti rombongan pelatih Belanda ini hanya "diam menonton dari bangku cadangan" saat para pemain berinisiatif menghampiri dan menemui suporter di lapangan. Kecaman Rosiade ini diakhiri tuntutan tegas agar Kluivert segera mengundurkan diri" (Instagram @andre_rosiade).

Update terakhir disampaikan Manajer Timnas Indonesia Sumardji, bahwa Kluivert dan staf pelatihnya langsung terbang kembali ke Belanda usai kekalahan timnas (cnnindonesia, 13/10).

Kontras dengan Kluivert, Graham Arnold (Pelatih Irak) justru menerapkan kendali etika dalam timnya: memberi penghormatan pada timnas, ia melarang selebrasi berlebihan dan meminta pemainnya memberi penghormatan kepada suporter sebelum ke ruang ganti (Detik, 13/10)

Serangkaian sikap yang ditunjukkan Kluivert dan staf menjadi sesuatu yang mengusik nalar etika kita, apakah bisa diterima etika profesionalisme seperti ini?  Tim kepelatihan yang sempat digembar-gemborkan sebagai "tim kepelatihan terbaik" dengan standar Eropa ini ternyata menunjukkan niretika profesional yang mendasar.

Seyogyanya, sebuah tim kepelatihan yang memegang titel profesionalisme, apalagi mewakili simbol dan harapan sebuah bangsa, wajib menunjukkan tanggung jawab moral dan attitude yang semestinya, tidak sekadar output kontrak semata.

Mungkin saja perilaku seperti ini sebuah hal yang biasa bagi mereka, ataukah kita yang terlalu berlebihan berharap mereka mengikuti budaya timur kita, bisa menjadi hal lain. Namun, seyogianya, profesionalisme seorang pemimpin yang bekerja mewakili simbol Negara/Bangsa menuntut etika dan adaptasi, di mana mereka wajib memahami dan menghormati kultur engagement tinggi Indonesia sebagai tempat bekerjanya.

Kegagalan menunjukkan empati dan memilih pulang ke ngerinya, menunjukkan bahwa figur kepemimpinan itu gagal membaca budaya lokal, sebuah hal yang kontradiktif dengan Shin Tae-young (Pelatih Timnas sebelumnya dari Korea) atau budaya hormat Ojigi Jepang ala Hajime Moriyasu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun