VAR memang bisa meminimalisir kesalahan pengambilan keputusan wasit yang bersifat visual dan subjektifitas. Namun inipun masih ada celah, bagaiaman sikap wasit terhadap moment itu sendiri, seperti pengambilan momen krusial di kotak pinalti, handsball, pelanggaran dan keputusan finalti masih mengandung interpretasi wasit itu sendiri.
VAR tetap tidak menjangkau sisi non teknis misi terselubung ini, menjadi sasaran lain yang bisa dijadikan celah.Keputusan taktis pelatih (seperti pergantian pemain) dan blunder pemain yang disengaja, yang mana keduanya akan selalu terlihat seperti kesalahan murni dalam permainan dan berada di luar yurisdiksi VAR.
Selain itu, mafia kini fokus bertaruh pada detail yang tidak dicakup VAR seperti jumlah kartu kuning atau corner kick, yang lebih mudah diatur oleh pemain atau wasit tanpa intervensi teknologi.
Pelajaran Masa Lalu
Skandal seperti Totonero (1980) dan Calciopoli (2006) di Italia menunjukkan bahwa match fixing bisa beroperasi di tingkat elit manajemen klub untuk mengatur wasit.
Di Indonesia sendiri, terbentuknya Satuan Tugas Anti Mafia Bola (2023), menunjukkan bahwa sepak bola kita juga masih bermasalah dengan match fixing. Perebutan degradasi promosi tim di liga sering menjadi peluang besar match fixing ini. Isu mafia di sepak bola kita masih terus menghantui hingga saat ini.
Mari Kita Kawal Sepak Bola Indonesia
Match fixing selalu menyasar urgensi sportifitas sepakbola dan finansial (target ekonomi pelaku) serta sistemnya, menjadikan setiap komponen sepak bola sebagai sasaran utama.
Sebagai pencinta bola, tugas kita adalah meningkatkan literasi kritis agar setiap anomali yang terjadi dalam spakbola dapat dicurigai dan dianalisis secara objektif integritas olah raga.
Perjuangan Timnas saat ini di QWC 4 2026 menjadi momentum berharga, harapan dan semangat bangsa yang harus kita jaga.