Lubang terdalam dari ketergantungan pada chatbot adalah manusia mencari solusi, tetapi gagal mendapatkan pengalaman hidup yang cukup untuk mematangkan pemikiran. Jawaban AI, secerdas apa pun algoritmanya, hanyalah solusi kontekstual dirangkai dari triliunan data yang bersifat probabilistik, bukan empiris.
Ia tidak pernah merasakan tekanan, dilema moral, atau kerentanan emosional dalam menghadapi berbagai karakter manusia. Justru dinamika dan tekanan dari pengalaman hidup otentik inilah yang mematangkan pemikiran, membangun wisdom, dan menyediakan jawaban solutif yang berakar pada realitas.
Nilai utama dari AI, dalam konteks ini, bersifat informatif, bukan transformatif. AI mungkin memberikan petunjuk jalan, tetapi ia tidak melatih skill kita dalam menghadapi jalanan itu sendiri.
Ketika pengguna mengimplementasikan saran AI tanpa kematangan yang cukup, solusi tersebut bisa menjadi jebakan yang fatal, berujung pada penyesalan atau kegagalan yang lebih besar, karena pengguna tidak memiliki kerangka pengalaman untuk membedakan antara solusi yang ideal di atas kertas dan solusi yang realistis untuk dijalankan.
Inilah alasan mengapa kita tidak boleh menyerah pada proses 'bertarung melawan manusia' itu sendiri demi mendapatkan jawaban yang benar-benar empiris.
Di Mana Batasan Garis Merah AI?
Kita perlu membuat batasan garis merah peran teknologi dalam urusan hati dan pikiran. AI memiliki peran, tetapi ia harus dibatasi sebagai alat triage (penyaringan cepat) dan edukasi.
AI sangat efektif dalam memberikan informasi dasar tentang gejala dan penanganan awal. menyediakan latihan CBT yang sederhana (misalnya teknik pernapasan) dan mengarahkan pengguna ke layanan profesional atau hotline darurat ketika risiko sudah terdeteksi.
Namun, AI tidak boleh menggantikan intervensi psikologis atau psikiatris yang membutuhkan penilaian klinis mendalam.
Sebagaimana yang disampaikan oleh para pakar Rahmat Hidayat bahwa AI adalah termometer, bukan antibiotik. Ia bisa mengukur suhu, tetapi tidak bisa menyembuhkan infeksi.
Konklusi: AI sebagai Cermin, Bukan Obat
Solusi utama tetap harus bersifat humanis dan kembali kepada diri sendiri. Ini sejalan dengan narasi membangun kembali benteng nilai internal dan secara sadar memutus akses terhadap potensi perusak eksternal.