Mohon tunggu...
Salwa Ghaisani
Salwa Ghaisani Mohon Tunggu... mahasiswa

like to watch thriller movie

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Efek Negatif Ekonomi Merkantilisme

13 April 2025   21:54 Diperbarui: 13 April 2025   21:54 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Efek Negatif Ekonomi Merkantilisme: Gaya Baru Amerika Serikat dalam Percaturan Ekonomi Dunia

Dalam satu dekade terakhir, Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Donald J. Trump telah menampilkan wajah baru dalam arena perdagangan internasional dengan wajah yang menyerupai bayangan masa lalu: merkantilisme. Kebijakan ekonomi proteksionis, terutama dalam bentuk tarif tinggi terhadap barang impor dari berbagai negara, hal ini telah memicu kekhawatiran mengenai kembalinya praktik merkantilisme dalam versi modern. Dalam kerangka ini, ekonomi bukan lagi semata-mata instrumen efisiensi dan kemakmuran kolektif, tetapi menjadi alat kompetisi strategis antarkekuatan besar.

Artikel ini bertujuan untuk mengeksplorasi dampak negatif dari pendekatan neo-merkantilis Amerika Serikat terhadap perekonomian global. Dengan menelaah praktik kebijakan tarif yang diberlakukan oleh Trump serta dampaknya terhadap negara-negara lain, kita akan melihat bagaimana merkantilisme gaya baru ini merusak prinsip-prinsip perdagangan bebas, meningkatkan instabilitas global, dan memicu fragmentasi ekonomi internasional.

Merkantilisme Gaya Baru: Amerika di Garis Depan

Merkantilisme klasik menekankan pentingnya surplus perdagangan dan intervensi negara dalam ekonomi. Neo-merkantilisme, bentuk kontemporernya, menggunakan pendekatan serupa namun dengan perangkat modern: tarif, subsidi, regulasi teknis, dan politik luar negeri berbasis ekonomi. Kebijakan perdagangan Amerika Serikat sejak 2017 dan terutama pasca terpilihnya kembali Donald Trump tahun 2024 menandai kebangkitan doktrin ini.

Menurut laporan BBC News (2025), Trump memberlakukan tarif minimum 10% terhadap semua barang impor, dan lebih dari 50% untuk produk dari negara seperti Tiongkok, Vietnam, dan Indonesia. Justifikasi Trump sederhana namun kuat secara politis: melindungi pekerjaan domestik dan merevitalisasi industri manufaktur Amerika.

Namun, dalam praktiknya, kebijakan ini menimbulkan konsekuensi luas. Ekonom Kim Clausing menyebutnya sebagai "the largest tax increase on imports since the 1930s" dan mengingatkan bahwa beban utama dari tarif ini akhirnya jatuh ke tangan konsumen Amerika sendiri. "Trump's tariffs are framed as a patriotic duty, but in essence, they burden American consumers and global stability" (Clausing, 2025).

Pembahasan: Dampak Sistemik Neo-Merkantilisme Amerika

Pendekatan neo-merkantilis AS menyebabkan berbagai konsekuensi sistemik yang meresap hingga ke jantung dinamika global. Kenaikan harga barang konsumsi, gangguan pada rantai pasok, dan retaliasi dari negara-negara mitra dagang bukan sekadar fenomena ekonomi, tetapi juga mencerminkan ketegangan geopolitik yang semakin dalam. Kenaikan harga barang konsumsi akibat tarif impor, misalnya, bukan hanya membebani konsumen domestik, tetapi juga memicu inflasi yang menurunkan daya beli masyarakat.

Gangguan pada rantai pasok global memperlihatkan betapa saling terhubungnya ekonomi dunia saat ini. Ketika satu simpul terganggu, seluruh jaringan pasti ikut terdampak. Perusahaan multinasional mulai memikirkan ulang strategi logistik dan produksi mereka, yang pada akhirnya menambah biaya dan mengurangi efisiensi produksi. Sementara itu, negara-negara yang terkena tarif membalas dengan kebijakan serupa, membentuk lingkaran tak produktif dari tindakan proteksionis yang saling menyakiti.

Retaliasi dan perang dagang menjadi medan baru bagi kontestasi kekuasaan ekonomi. Ketika tarif dijadikan alat tekanan politik, hubungan diplomatik antarnegara menjadi tegang. Perdagangan yang seharusnya menjadi jembatan kerja sama, berubah menjadi arena konflik. Dalam konteks ini, lembaga multilateral seperti WTO menjadi lemah karena kehilangan otoritas moral dan politiknya di mata negara-negara besar.

Ketimpangan dan gejolak sosial menjadi aspek lain yang mencolok. Proteksionisme tidak serta merta membawa kesejahteraan bagi seluruh warga negara. Dalam banyak kasus, hanya segelintir industri yang menikmati keuntungan, sementara masyarakat luas harus menanggung biaya yang jauh lebih besar. Otomatisasi industri yang kembali ke dalam negeri tetap mengurangi lapangan kerja. Alih-alih memperkuat kelas pekerja, kebijakan ini justru memperparah jurang ketimpangan.

Di tengah dampak domestik yang ditimbulkan, kebijakan proteksionis juga memicu respons di tingkat global. Kebijakan proteksionis ini berkontribusi pada pergeseran kekuatan geopolitik global. Negara-negara berkembang, terutama di Asia Tenggara, mulai mencari aliansi baru dan memperkuat kerja sama regional seperti dalam kerangka RCEP untuk mengurangi ketergantungan terhadap pasar Amerika Serikat. Dunia bergerak menuju pola multipolar, bukan karena desain kolektif, tetapi karena terpaksa oleh kebijakan sepihak.

Menuju Tata Dunia yang Terfragmentasi?

Kebangkitan neo-merkantilisme Amerika Serikat di bawah Donald Trump menandai momen penting dalam evolusi ekonomi politik global. Ketika sebuah negara adidaya memutuskan untuk menarik diri dari tatanan multilateral demi keuntungan domestik jangka pendek, dunia akan merasakan guncangannya. Tarif, yang sejatinya adalah instrumen fiskal, berubah menjadi simbol kekuasaan, dominasi, dan ironisnya, ketakutan akan keterbukaan.

Dampak kebijakan ini sangat luas dan sistemik. Ia menggerus kepercayaan, memicu pembalasan, merusak lembaga-lembaga internasional, dan menciptakan suasana saling curiga di antara negara-negara. Seperti domino yang jatuh satu per satu, proteksionisme Amerika menyulut arus balasan yang memperlambat perdagangan, menurunkan pertumbuhan, dan memperparah ketimpangan global. Dunia tidak lagi dilihat sebagai mitra dalam pencapaian bersama, tetapi sebagai lawan dalam kontes supremasi ekonomi.

Namun demikian, sejarah menunjukkan bahwa isolasionisme dan dominasi sepihak jarang bertahan lama tanpa konsekuensi. Ketika keterlibatan diganti dengan konfrontasi, dan kerja sama digantikan oleh koersivitas, maka stabilitas jangka panjang menjadi taruhan. Dunia kini menghadapi dilema: apakah akan mengikuti jalan yang sama atau mencari model ekonomi global yang lebih adil, inklusif, dan berkelanjutan.

Tantangan terbesar bukanlah hanya pada sisi ekonomi, melainkan pada sisi etika dan solidaritas global. Apakah kita akan membiarkan ekonomi dunia dikendalikan oleh logika persaingan zero-sum, ataukah kita mampu menata ulang narasi perdagangan internasional berdasarkan kepercayaan, kolaborasi, dan nilai bersama? Masa depan tidak dibentuk oleh tarif atau surplus dagang semata, tetapi oleh visi bersama tentang dunia yang saling menopang.

Sebagaimana diingatkan oleh Jagdish Bhagwati, "Trade policy should not be hijacked by political ambitions. Protectionism may serve a short-term purpose, but in the long run, it erodes the global trust we have spent decades building" (Bhagwati, 2004).

Amerika Serikat boleh jadi sedang memimpin kembalinya merkantilisme, namun masa depan ekonomi global akan sangat bergantung pada kemampuan kolektif umat manusia untuk belajar dari sejarah dan membangun tata perdagangan dunia yang tidak hanya kuat, tetapi juga bijaksana, tangguh, dan berpihak pada kemanusiaan. Kita harus menolak gagasan bahwa dominasi ekonomi adalah satu-satunya ukuran kekuatan. Kita perlu menimbang keberhasilan dengan tolak ukur keadilan, keberlanjutan, dan kesejahteraan kolektif.

Masa depan bukan milik mereka yang bersuara paling keras, tetapi mereka yang mampu membangun jembatan di tengah badai. Ketika proteksionisme tumbuh dari kecemasan dan ketakutan, hanya kolaborasi yang mampu menyembuhkan luka-luka peradaban global. Dalam dunia yang semakin terhubung, pilihan paling berani bukanlah mengunci pintu dan menjaga gudang, melainkan membuka jendela dan berbagi cahaya. Hanya dengan begitu kita dapat memastikan bahwa ekonomi global akan menjadi wadah bagi kemajuan bersama, bukan panggung bagi persaingan destruktif tanpa akhir. Merkantilisme mungkin kembali, tetapi kita masih punya pilihan untuk menulis kisah yang berbeda, kisah solidaritas.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun