Mohon tunggu...
Salwa Ghaisani
Salwa Ghaisani Mohon Tunggu... mahasiswa

like to watch thriller movie

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Efek Negatif Ekonomi Merkantilisme

13 April 2025   21:54 Diperbarui: 13 April 2025   21:54 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Ketimpangan dan gejolak sosial menjadi aspek lain yang mencolok. Proteksionisme tidak serta merta membawa kesejahteraan bagi seluruh warga negara. Dalam banyak kasus, hanya segelintir industri yang menikmati keuntungan, sementara masyarakat luas harus menanggung biaya yang jauh lebih besar. Otomatisasi industri yang kembali ke dalam negeri tetap mengurangi lapangan kerja. Alih-alih memperkuat kelas pekerja, kebijakan ini justru memperparah jurang ketimpangan.

Di tengah dampak domestik yang ditimbulkan, kebijakan proteksionis juga memicu respons di tingkat global. Kebijakan proteksionis ini berkontribusi pada pergeseran kekuatan geopolitik global. Negara-negara berkembang, terutama di Asia Tenggara, mulai mencari aliansi baru dan memperkuat kerja sama regional seperti dalam kerangka RCEP untuk mengurangi ketergantungan terhadap pasar Amerika Serikat. Dunia bergerak menuju pola multipolar, bukan karena desain kolektif, tetapi karena terpaksa oleh kebijakan sepihak.

Menuju Tata Dunia yang Terfragmentasi?

Kebangkitan neo-merkantilisme Amerika Serikat di bawah Donald Trump menandai momen penting dalam evolusi ekonomi politik global. Ketika sebuah negara adidaya memutuskan untuk menarik diri dari tatanan multilateral demi keuntungan domestik jangka pendek, dunia akan merasakan guncangannya. Tarif, yang sejatinya adalah instrumen fiskal, berubah menjadi simbol kekuasaan, dominasi, dan ironisnya, ketakutan akan keterbukaan.

Dampak kebijakan ini sangat luas dan sistemik. Ia menggerus kepercayaan, memicu pembalasan, merusak lembaga-lembaga internasional, dan menciptakan suasana saling curiga di antara negara-negara. Seperti domino yang jatuh satu per satu, proteksionisme Amerika menyulut arus balasan yang memperlambat perdagangan, menurunkan pertumbuhan, dan memperparah ketimpangan global. Dunia tidak lagi dilihat sebagai mitra dalam pencapaian bersama, tetapi sebagai lawan dalam kontes supremasi ekonomi.

Namun demikian, sejarah menunjukkan bahwa isolasionisme dan dominasi sepihak jarang bertahan lama tanpa konsekuensi. Ketika keterlibatan diganti dengan konfrontasi, dan kerja sama digantikan oleh koersivitas, maka stabilitas jangka panjang menjadi taruhan. Dunia kini menghadapi dilema: apakah akan mengikuti jalan yang sama atau mencari model ekonomi global yang lebih adil, inklusif, dan berkelanjutan.

Tantangan terbesar bukanlah hanya pada sisi ekonomi, melainkan pada sisi etika dan solidaritas global. Apakah kita akan membiarkan ekonomi dunia dikendalikan oleh logika persaingan zero-sum, ataukah kita mampu menata ulang narasi perdagangan internasional berdasarkan kepercayaan, kolaborasi, dan nilai bersama? Masa depan tidak dibentuk oleh tarif atau surplus dagang semata, tetapi oleh visi bersama tentang dunia yang saling menopang.

Sebagaimana diingatkan oleh Jagdish Bhagwati, "Trade policy should not be hijacked by political ambitions. Protectionism may serve a short-term purpose, but in the long run, it erodes the global trust we have spent decades building" (Bhagwati, 2004).

Amerika Serikat boleh jadi sedang memimpin kembalinya merkantilisme, namun masa depan ekonomi global akan sangat bergantung pada kemampuan kolektif umat manusia untuk belajar dari sejarah dan membangun tata perdagangan dunia yang tidak hanya kuat, tetapi juga bijaksana, tangguh, dan berpihak pada kemanusiaan. Kita harus menolak gagasan bahwa dominasi ekonomi adalah satu-satunya ukuran kekuatan. Kita perlu menimbang keberhasilan dengan tolak ukur keadilan, keberlanjutan, dan kesejahteraan kolektif.

Masa depan bukan milik mereka yang bersuara paling keras, tetapi mereka yang mampu membangun jembatan di tengah badai. Ketika proteksionisme tumbuh dari kecemasan dan ketakutan, hanya kolaborasi yang mampu menyembuhkan luka-luka peradaban global. Dalam dunia yang semakin terhubung, pilihan paling berani bukanlah mengunci pintu dan menjaga gudang, melainkan membuka jendela dan berbagi cahaya. Hanya dengan begitu kita dapat memastikan bahwa ekonomi global akan menjadi wadah bagi kemajuan bersama, bukan panggung bagi persaingan destruktif tanpa akhir. Merkantilisme mungkin kembali, tetapi kita masih punya pilihan untuk menulis kisah yang berbeda, kisah solidaritas.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun