Mohon tunggu...
Samuel Ampudan Putra
Samuel Ampudan Putra Mohon Tunggu... -

Semua Indah Pada Waktunya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Port Nangor (Pangkalan Damri Jatinagor)

22 Maret 2012   13:58 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:37 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Daun-daun berguguran, Angin bertiup agak kencang menghembuskan aroma laut yang bau amisnya begitu menyengat Aku kembali berjalan menuju persimpangan pelabuhan dan kebetulan ada kapal yang baru bersandar namun tak kuperhatikan kapal itu. Aku berjalan meninggalkan persimpangan untuk menikmati anggur itu sendirian di dekat taman. Banyak orang orang berlalu lalang, semuanya sibuk. Kulihat didepanku sekelompok anak-anak saling mengejar satu sama lain begitu lepasnya mereka tertawa, bermain di bawah matahari sore yang cahaya peraknya mengintip malu-malu dari rerimbunan daun pohon asam di tepi laut. Semua orang terlihat senang bahkan gembel pun kulihat tertawa lepas.

Kemudian aku berjalan ke sebuah kursi taman dan duduk disitu dan membuka anggur seharga tiga belas kepeng dan aku membayangkan kalau aku sedang meminum anggur Bordeaux tahun 1930-an yang biasa di minum oleh para nahkoda kapal, tapi tidak ada temanku untuk bersulang. Mau tidak mau aku bersulang dengan tanah perantauanku, kutumpahkan sedikit anggur di tanah pelabuhan sambil berkata “untuk Ibu Pertiwi”. Aku tidak sendirian, tanah yang kupijak ikut juga merasakan manisnya anggur khas pelabuhan. Aku kembali berjalan meninggalkan tempat duduku berjalan kesebuah taman yang banyak lampu-lampunya, anggur ditangan kanan, dan rokok ditangan kiri. Tiba tiba aku melihat putri berada di depan mataku sedang berjalan dengan kepala perpustakaan kerajaan. Aku terkejut, Ah!!! Mimpi apa aku semalam kok bisa bertemu sang puteri justru di pelabuhan. Anggun sekali sang puteri sore itu lebih cantik dari yang sebelumnya aku lihat, senyumnya tulus, surgawi, damai, betul-betul bahwa dia adalah seorang Putri.

“Samuel darimana?”sapanya ramah dan lembut. Aku tak berani bilang kalau aku baru saja dari tempatnya. Aku katakan bahwa aku baru saja membeli minuman dari simpang jalan untuk persiapan nanti malam.

“Putri darimana”?kataku terbata-bata, karena begitu gugupnya aku melihatnya apalagi tangan kananku memegang sebotol anggur.Baru dari kota, katanya.

Kemudian putri berpamitan kepadaku bahwa ia harus cepat-cepat pulang karena cuaca diluar begitu dingin dan angin pun begitu kencang. Singkat sekali pertemuan sore itu.

Aku gembira bukan main jarang sekali bisa melihat putri dan aku yakin itu sebuah anugerah. Aku pulang ke barak dan aku lebih suka menyebutnya sel atau tahanan karena begitu sempitnya ruang kamarku. Aku rebahkan tubuhku dalam keadaan setengah mabuk. Dan akhirnya aku bisa tertawa, Sambil memikirkan bagaimana cara mendekati sang putri. Namun aku begitu merasa pesimis aku hanyalah seorang perantau serta seniman kacangan di desa ini urusan apa aku mendekati sang puteri. Aku bukanlah seorang yang mapan layaknya saudagar-saudagar yang biasa berlabuh di pelabuhan dengan segudang pengalaman dan pengetahuan tentang dunia yang ada di bawah pijakanku.


Aku tak tahan lagi aku ingin sekali mengenal sang putri, di otak ku hanyalah sang putri, pokoknya sang putri. Kemudian aku ikat sebuah pesan kecil pada kaki merpati pos ku, aku terbangkan pesan itu kepada putri. Beberapa saat kemudian merpati ku datang dan hinggap di jendela kamarku. Ku lihat kaki kanannya, pesanku sudah tidak ada yang tersisa hanyalah pita pengikatnya dan puteri tidak membalas pesanku tapi pastilah dia membacanya. Akhirnya kuterbangkan pesan terakhir kepada sang puteri begini bunyinya :

Selamat malam putri, Kenapa kau tidak pernah menjawab pesanku Melihat tulisan dan kata-katamu saja aku sudah senang bukan main Putri apakah kau takut kepadaku seorang seniman Yang biasanya tidak mempunyai hati Yang biasanya tidaklah tidak romantis. Putri janganlah kiranya engkau takut Sungguh aku ini bukan orang jahat.

Merpati posku kembali. Kertas yang berisi pesan itu masih terikat rapih di kakinya. sang putri tidak membacanya. Aku tahu itu adalah haknya aku tidak berhak menuntutnya. Aku tahu kalau aku ini adalah seorang yang egois dan pamrih, mengharap mencintai sang putri dan berharap balik dicintai. Aku memang tidak seromantis para pujangga serta para penyair, kata-kata dalam suratku saja sama sekali tidak anggun, murahan.

Apakah putri tidak menaruh simpati kepada seniman seperti saya yang hanya bisa bermain piano dan memetik gitar. Apakah sang putri hanya kagum dengan kaum-kaum bangsawan yang adalah pemikir-pemikir muda dengan segudang kata-kata manis dan romantis namun hanya di bibir tidak dari dalam hati.

Hatiku sudah sekarat untuk sang putri sekarang tinggal menunggu kematiannya dan aku akan memakamkan hati ku di tempat peristirahatan terakhir diatas bukit yang tenang, sunyi, dan sepi, dengan sebuah batu nisan berwarna hitam bermotif. Aku sendiri yang akan menghadiri pemakamannya dan aku akan bersulang segelas anggur pelabuhan yang manisnya murni sambil melihat kearah lembah yang penuh dengan kerlipan cahaya lampu-lampu kota. Dan disitulah hatiku akan beristirahat dengan tenang dan damai sambil menunggu datangnya sang putri datang mencium batu nisanku untuk membangunkan hatiku dari peristirahatannya atau sekedar menabur bunga diatasnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun