Mohon tunggu...
Didik M.riyadi
Didik M.riyadi Mohon Tunggu... -

Pejabat birokrat yang marah-marah, Humas yang mengancam, narasumber yang mengelak, hingga institusi yang tidak terima, semuanya adalah resiko pekerjaan. Seorang walikota yang tiba-tiba bertanya dan kemudian membantu, saat mendirikan gubuk dan kehabisan ‘peluru’. Seorang Kapolsek yang tiba-tiba muncul di rumah, sembari membawa parcel yang katanya pemberian dari koleganya. Seorang aktifis demo yang dengan gampangnya memberikan sebuah amplop tebal, yang katanya hasil bargaining dengan seorang pejabat, saat tahu anak saya masuk rumah sakit. Hingga seorang peladang papa, yang membawa satu karung goni berisi ketela, kacang brol, dan 2 sisir pisang hasil kebun ke rumah. Karena saya sudah berhasil ‘memaksa’ walikota Sukawi bersama istrinya untuk menengok dan akhirnya memberi bantuan anaknya yang tidak mempunyai anus. Semuanya adalah pengalaman hidup. Semuanya adalah perjalanan panjang menikmati semua keterbatasan sebagai manusia yang tidak pernah sempurna. Dan saat usia mulai membatasi diri, maka yang terbaik bagi saya adalah, bagaimana membuat arti sebelum semuanya diakhiri. Terimakasih untuk semuanya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Manajemen Redaksi Media Sekolah

6 Januari 2014   12:42 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:06 274
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

MANAGEMEN MEDIA SEKOLAH

5.1Managemen Redaksi

Untuk membahas managemen redaksi ini, sebelumnya mari kita lihat moda kepengurusan dan pengelolaan yang biasanya terjadi di sebuah media sekolah. Ada 2 jenis moda pengelolaan media sekolah itu.

1.Menyerahkan seluruh pengelolaannya kepada anak didik.

2.Menugaskan satu atau lebih guru sebagai pengelola, sementara anak didik lebih bertugas sebagai reporter dan pengumpul materi media.

Anak didik sebagai pengelola

Untuk moda pengelolaan satu, kesulitan pertama yang harus dihadapi sekolah adalah, bagaimana memilih dan menyerahkan mandat itu kepada anak didik. Maksudnya, kepada siapa media itu harus dipasrahkan. Memilih anak yang punya jiwa kepemimpinan, mampu menulis dan berkomunikasi dengan baik, ternyata tidak mudah.

Tapi kalau memang pihak sekolah menugaskan anak didik yang harus menggarap media sekolah, pendelegasian wewenang itu jangan pernah tanggung-tanggung. Kalau kemudian sekali pihak sekolah kesulitan menemukan anak yang mau dan mampu mengelola media sekolah dengan baik, maka ketua OSIS lah yang kemudian sekali harus menjadi jujugan. Pasarahkan padasang ketua untuk mencari anak yang kapable dan mempunyai kemampuan untuk itu. Tugaskan satu guru pembimbing untuk membantu mereka.Gurupembimbing di sini harus dalam posisi hanya sebagai penyambung komunikasi antara sekolah dengan anak didik yang ditunjuk sebagai pengelola. Jangan sampai muncul pendiktean, dan atau pemaksaan kehendak dari sang guru.

Oke, saat sang Ketua OSIS yang dipasrahi sekolah. Maka beri mereka fasilitas dan kemudahan untuk menyegerakan proses administrasi penyusunan redaksi. Siapa kemudian yang ditempatkan sebagai Pemimpin Redaksi, Redaksi Pelaksa, Redaksi dan Reporter, semuanya harus jelas siapa – siapanya. Anak didik yang ditempatkan di posisinya masing – masing juga harus jelas parameter kualitas kepemimpinan dan kepenulisannya. Untuk mengukurnya, tepat tidaknya seseorang ditempatkan di satu posisi, sang guru pembimbinglah yang kemudian berperan. Dia harus bijaksana melihat, tidak hanya potensi yang dimiliki sang anak, tapi juga mindset dan karakternya.

Untuk sang Pemimpin Redaksi misalnya. Kalau kemudian harus juga diserahkan kepada anak didik, maka dalam diri anak yang akan ditempatkan di posisi itu, harus ada jiwa kepemimpinan yang baik. Dia harus terbuka dan mau membuka diri. Janganpernahmemilih anak yang egois dan cenderung memaksanakan kehendak. Meski sang anak itu mempunyai kemampuan menulis bagus dan menjabat sebagai ketua OSIS. Sang Pemimpin Redaksi disini, tugas dan kewajibannya lebih sebagai organisatoris. Dia akan lebih banyak mengelola dan mengarahkan semua sumber daya yang ada, menuju ke sebuah penciptaan media sekolah yang baik.

Sang pemimpin redaksi adalah dia yang disegani. Untuk sebuah media yang harus rutin terbit dalam setiap bulannya, dia harus mampu mendisiplinkan semua pekerja di bawahnya, agar bisa tepat deadlinedan mengejar semua materi yang harus disediakan untuk isi media. Dia harus juga mampu memberi tugas yang harus dijalankan dengan baik oleh pekerja di bawahnya, tanpa memunculkan gerundelan dan atau protes. Mampu menempatkan ’Man behind the gun’ itulah tugas pokoknya. Sehingga, saat dia mendudukkan seorangtemannya dalam posisi redaksi, maka dia harus mempunyai kemampuan lebih dalam hal menulis, sehingga saat dia meng edit tulisan dari para reporter, hasil akhirnya, tulisan itu makin baik dan makin enak dibaca.

Demikian juga, saat dia menempatkan satutemannya di posisi fotografer. Maka sang anak harus benar mampu menguasa alat fotographi dan mampu menghasilkan foto yang tajam dan bagus. Demikian juga anak yang harus mendesain dan me lay out media itu. Semuanya harus Man behind the gun, sehingga roda proses produksi tetap bisa terus berjalan, meski batasan waktu tetap akan terus menjadi kendala.

Sang Pemimpin Redaksi, haruslah seorang organisatoris yang handal, yang mempunyai jiwa terbuka dan mampu menggerakkan semua potensi dan kelebihan yang dipunyai anak buahnya, menuju ke sebuah pencapaian sebagai yang telah ditargetkan. Biarkan sang pemimpin redaksi yang memilih semua anak buahnya. Berilah kewenangan yang besar pada dia. Agar semuanya bisa berjalan sebagaimana mestinya.

Guru sebagai pengelola

Sementara saat sang Kasek kemudian sekali menunjuk satu atau beberapa orang guru yang menjadi pengelola dengan anak didik sebagai anak buahnya. Maka kesulitan menemukan anak yang man behind the gun, bisa dihilangkan. Karena semuanya di asuh dan diampu oleh sang guru, sehingga sang anak didik lebih pada pendukung dan pelaksana semua perintah guru yang bersangkutan.

Hanya masalahnya, masih adakah waktu dari beberapa guru yang ditugaskan itu ditengah padatnya beban administasi dan tugas kepengajarannya ? Pengalaman yang kita dapat selama ini , saat dipegang sepenuhnya oleh guru, yang sudah amat sangat padat tugas kesehariannya itu ketepatan waktu terbit media menjadi tidak bisa diandalkan. Sang guru menggarap media itu di sela – sela waktu mengajarnya. Dia mengumpulkan anak didik untuk rapat redaksi, juga di sela-sela tugas kesehariannya yang amat sangat padat. Atas kebijakan itu, ketepatan waktu terbitnya media sekolah, yang kemudian menjadi taruhannya. Sebuah media yang ditargetkan terbit setiap bulan di pertengahan bulan, akan tidak bisa terjaga ketepatannya karena sang guru yang menjadi pengelolanya tidak punya waktu lagi untuk menggarapnya. Sang guru tidak bisa mengatur dan menyisihkan waktunya, untuk mengejar segala deadline dan aturan main dalam keredaksiannya.

Lantas bagaimana solusinya ?

Sebagai acuan pembelajaran bisa kita ambil studi kasus majalah pendidikan Merah Putih milik yayasan Nasima Semarang. Pada awalnya, saat media itu dipegang sepenuhnya oleh para guru, meski mereka adalah jago menulis dan penuh inovasi dan kreatif sekali. Merah Putih itu terbitnya tidak tentu, terkadang 2 bulan sekali, terkadang 3 bulan sekali. Bahkan tidak jarang 4 bulan sekali baru bisa terbit. Alasannya, para guru yang menjadi pengelola sudah kehabisan waktu untuk menggarapnya. Kesehariannya sebagai guru dan kepala sekolah, sudah menghabiskan waktu mereka. Sehingga membuat eksis Merah Putih menjadi tugas yang ke sekian, dan tidak penting.

Solusinya ? Mereka kemudian merekrut para profesional. Para pekerja pers yang memang punyai spesialisasi dan mampu menyediakan waktu untuk menggarapnya. Para guru dan kepala sekolah tetap sebagai pengelola dan penentu kebijakan isi dan materi medianya. Sementara untuk pelaksananya, pembuatnya, para profesional itu.

Misal, untuk sebuah wawancara dengan Kadiknas. Maka yang menggarap adalah para profesional itu. Demikian juga untuk tugas-tugas wawancara dan penulisan laporan utama serta yang lainnya. Yang pasti, para pekerja profesional itulah yang menerjemahkan apa yang ada dipikiran dan menjadi ide dari guru yang menjadi pengelolanya. Hasilnya ? Merah Putih saat ini menjadi salah satu media sekolah yang sudah di go publikkan, dan mampu mengangkat kredibilitas serta keberadaan sekolah – sekolah di bawah naungan yayasan Nasima. Media itu saat ini bahkan sudah bisa terbit tetap waktu, tanggal 10 dalam setiap bulannya. Dan yang paling menggembirakan, Merah Putih saat ini sudah menjadi salah satu unit yang menguntungkan. Sekolah dan pihak Yayasan sudah tidak lagi mengeluarkan dana untuk menjaga kesinambungan terbitnya.

Man behind the gun

Di atas sudah disebutkan betapa pentingnya menempatkan seseorang di bidangnya, sesuai dengan kemampuannya. Sebelum kita membahasnya lebih lanjut, marilah kita melihat dulu, posisi apa saja yang bisa ada di sebuah media, meski itu hanya media sekolah.

Hierarki organisasinya antara lain :

1.Penasehat / Pelindung : Biasanya Kasek dan atau tokoh di lingkup sekolah yang punya pengaruh cukup besar

2.Pemimpin Perusahaan : Biasanya wakasek atau guru yang ditunjuk yang punya akses kepada banyak perusahaan yang bisa dijadikan sponsorship

3.Pemimpin Redaksi: seorang guru dan atau anak didik yang dipercaya

4.Wakil Pemred: bisa ada bisa tidak.

5.Redaksi Pelaksana : Adalah mereka yang punya ide yang kreatif dan mampu menggerakkan semua potensi yang ada di media

6.Redaksi: Biasanya ada beberapa orang, dengan pembagian tugas yang jelas.

7.Reporter: Anak didik yang senang petualangan, punya militansi yang tinggi dan senang dengan pergaulan.

8.Bendahara : Mereka yang punya kemampuan mengelola keluar masuknya dana di media sekolah.

9.Sekretaris : Harus dipilih anak yang mampu membuat tugas-tugas administrasi dengan rapi dan benar. Posisinya sangat penting.

10.Fotografer : Harus benar-benar mampu menghasilkan gambar yang bagus.

11.Desain Grafis : Harus menguasai program corel draw atau program desain grafis lainnya, dan photoshop. Lewat tangan desain grafis inilah, kualitas mediadari sisi perwajahan dipertaruhkan.

12.Promosi: Diusahakan guru dan atau anak yang kapabel dan mampu menjalin relasi.

13.Distribusi sirkulasi : Harus benar- benar anak yang rajin dan ulet.

Mari kita telaah satu persatu tugas dan kewajiban dari banyak jabatan di atas.

1.Untuk penasehat / pelindung :

Yang dibutuhkan di sini adalah sosok- sosok yang kredibilitasnya tinggi, entah itu terkait jabatannya dan atau posisinya di masyarakat. Mereka akan dibutuhkan posisinya saat media menghadapi masalah, entah itu terkait dengan pendanaan dan atau masalah yang lain.

Nama – nama yang dimasukkan sebagai penasehat dan atau pelindung, harus mampu secara signifikan mempengaruhi banyak orang di banyak posisi, terkait pemajuan dan pemaksimalan media sekolah yang bersangkutan. Maksudnya, begitu pembaca melihat susunan redaksi di media, dia akan segera bersimpati dan mengembangkan apresiasi dengan misalnya memasang sponsorship dan atau membantu dalam bentuk lainnya.

Tugasnya sendiri, para penasehat dan pelindung ini, sebenarnya tidak ada. Mereka hanya tidak lebih dan tidak kurang sebagai pajangan untuk memberi tahukan dan atau ’menakut-nakuti’ pihak – pihak yang ingin mengembangkan sikap permusuhan. Penasehat dan pelindung di sini berperan sebagai penjaga kredibilitas dan kebesaran media sekolah yang bersangkutan.Di media masa umum, posisi menjadi sangat strategis, saat media harus berhadapan dengan sesuatu yang menghambat proses dan fungsi kontrol sosial dari media yang bersangkutan.

Sementara di media sekolah, peran fungsinya, menjadi tidak begitu diperlukan. Karena posisinya melekat di jabatannya, yang formalistis dan simbolis.

2.Pemimpin Perusahaan

Untuk posisi ini, sosok yang dibutuhkan adalah mereka yang mempunyai akses yang luas, komunikatif dan familiar dengan rekanan yang meluas hingga ke luar lingkung sekolahan. Sosok di posisi ini adalah mereka yang harus mampu menghidupi media itu sendiri. Kalau di media masa umum, sosok yang menempati posisi ini adalah mereka yang bertanggung jawab terhadap cost produksiyang muncul sebagai akibat penerbitan sebuah media, lengkap mulai dari cost produksi terkait pencetakan hingga gaji awak medianya.

Menginat pentingnya peranan sosok di posisi ini, maka yang berhak menempati adalah mereka yang paling mempunyai pengaruh di sekolahan, misalnya Kasek atau wakilnya. Mereka harus minimal mempunyai power untuk misalnya mengambil keputusan dan atau menentukan sebuah kebijakan. Sehingga saat harus bernegosiasi dengan perusahaan yang produknya dipakai oleh sekolahan, terkait dengan sponsorship, ada bargaining potition yang tinggi.

Untuk pencarian dana di luar lingkungan sekolah, nama dan keberadaan sosok yang menempati posisi ini juga diharapkan bisa mendukungnya. Minimal, namanya di banyak pergaulan di luar lingkup sekolahan, disegani. Saat yang punya persyaratan itu sudah ditemukan, insyaallah keberadaan media internal sekolah, bisa tetap terjaga ada dan makin eksis.

Tapi bagaimana kalau sosok yang demikian itu tidak ada di sebuah sekolah ?Sementara sang Kasek juga sudah tidak mempunyai lagi mengurusi pekerjaan lain, selain pekerjaannya sebagai Kasek. Tidak usah kecil hati. Bisa kok kitapilih diantara para guru yang mempunyai basik komunikasi yang bagus. Dalam artian, dia mempunyai jiwa dan pola pergaulan yang luas, dan mau serta mampu berpayah-payah menghubungi banyak pihak, demi kelangsungan hidup media sekolahnya.

Sang guru itu harus mempunyai ketegasan yang nantinya diperlukan saat harus menghadapi para sales perusahaan yang produknya dipakai sekolah. Banyak kilah dan sejuta alasan yang muncul, harus mampu disikapi dengan sungguh – sungguh dan tegas sehingga akhirnya, perusahaan yang bersangkutan, mau menjadi sponsorship yang mendukung media yang akan dibentuk, dalam skema kontrak tidak dalam satuan putus.

Kenapa media sekolah harus mencari sponsor, kan sudah ada dana dari sekolahan ? Kenapa harus membebani keuangan sekolahan kalau media itu sendiri bisa mandiri ? Sampai kapan pihak sekolahan mampu secara rutin menyediaan dana untuk penerbitannya ? Sampai di mana sekolahan mampu menyediakan dana untuk tombok ?

Idealnya, dana dari sekolahan dipakai sebagai dana pendamping saja. Dana abadi, yang harus disimpan dan dipergunakan saat dibutuhkan. Sementara untuk bulanannya dipakai dana dari langganan ( kalau media sekolah itu dijual kepada anak didik ), dana dari sponsorshipyang datangnya bisa dari para alumni dan atau orang tua yang mau membantu serta perusahaan yang produknya dipakai sekolahan.

Pemimpin perusahaan harus mampu memberikan rasa aman dan tenang pada awak media, terkait pendanaan. Akan menjadi lucu saat awak media sudah bekerjakeras mempersiapkan naskah isi media, ternyata dana untuk pencetakannya belum ada.

3. Pemimpin Redaksi

Untuk posisi ini, sosok yang harus dipilih adalah mereka yang mempunyai jiwa kepemimpinan tinggi. Yang mampu menggerakkan semua potensi sekolahan, untuk mendukung proses pelahiran dan jalannya media sekolah. Mereka yang ditempatkan di posisi ini harus didukung oleh legalitas yang pasti dari sang Kasek, agar jabatan yang melekat padanya tidak dipandang sebelah mata dan di’cuekin’ oleh guru dan atau anak didik.

Mereka yang menempati posisi ini, harus didukung dan disahkan dengan resmi lewat SK dari sang Kasek dengan standart operation prosedur ( SOP ) termasuk hak dan kewajiban yang jelas, agar semua satuan tenaga didik dan pendidik di sekolahan tidak menganggap sebelah mata. Dan semua keputusan dan kebijakannya, setelah mendapat restu dari sang Kasek, didukung dan dilaksanakan dengan senang hati oleh semua potensi di sekolahan.

Dalam managemen redaksi, mereka yang menempati posisi ini, mempunyai kewenangan yang sangat kuat terkait kebijakan dan isi materi media. Diaakan menjadi jembatan antara awak media dengan sang Kasek. Dia lah yang harus menerjemahkan SOP yang telah ditetapkan sang Kasek, dalam kinerja dan rubrikasi dan isi materi media yang akan diterbitkan.

Pemimpin redaksi inilah yang akan memimpin rapat awak media, terkait tema apa yang akan dibahas dalam laporan utama edisi pertama dan seterusnya ( kalau media yang bersangkutan mengambil kebijakan menampilkan sebuah laporan terkait permasalahan yang lagi aktual yang sedang dihadapi dunia pendidikan dan atau sekolah yang mempunyai media tersebut ). Sebagai pemimpin, sang pemred, harus mempunyai jiwa yang terbuka, dan mau legowo menerima masukan dan kritik saat kebijakannya dianggap tidak populis dan kurang pas.Sang pemred, harus mau mengembangkan diskusi yang baik, sehingga apapun keputusan akhir yang ditetapkan, adalah merupakan rangkuman dan intisari dari semua pendapat yang berkembang di forum diskusi itu sendiri.

Sang pemred, adalah mereka yang mempunyai visi misi jauh ke depan, dengan semangat pencitraanyang tinggi atas keberadaan sekolahan dan benar-benar mempunyai jiwa pendidik yang patut diandalkan. Dia adalah perwujudkan dari Tut Wuri Handayani, Sung Madyo Mangun Karso, Jer Basuki Mowo Bea.

4. Wakil Pemred

Posisi ini tidak harus ada. Posisi ini baru diadakan, saat sang pemimpin redaksi tidak benar-benar bisa seratus persen mempunyai waktu untuk tugasnya itu. Kalaupun harus ada, maka mereka yang ada diposisi ini, merupakan wakil dari sang Pemred, dalam menerjemahkan semua apa yang dimaui oleh sang Kasek. Dalam tataran selanjutnya, wakil pemred, akan menerima banyak penugasan yang sang Pemred sendiri berhalangan untuk melaksanakannya.

Karena dia menjadi wakil dari Pemred, maka tugas dan kewajibannya juga sama dengan sang Pemred. Hanya kalau kemudian pihak sekolahan menganggap perlu menghadirkan sosok wapemred, maka sosok yang harus dipilih adalah mereka yang bisa mengisi apa yang belum dipunyai oleh sang Pemred. Bisa saja sang wapemred diberi tugas dan kewenangan yang setara dengan Pemred, agar ada saling mengisi dan mengawasi, sehingga saat salah satu keluar dari SOP dan jalur yang telah ditetapkan oleh sang Kasek, ada yang memperingatkan dan mengembalikannya ke jalur yang benar.

1.Redaksi Pelaksana

Satu syarat yang harus dipenuhi oleh sosok yang diduduk an di posisi redaksi pelaksana adalah, Dia harus mempunyai pengalaman jurnalistik yang mumpuni. Dia juga harus mau belajar danmembaca untuk mengembangkan kemampuan dan penguasaan atas kondisi riel terbaru di lingkup segmentasi yang dibidik media yang diasuhnya. Dia harus mempunyai kemampuan menulisa dan sekaligus memeneg awak redaksi, agar semua bisa berjalan lewat koridor yang telah ditetapkan, dengan tepat waktu berdasarkan deadline yang telah ditetapkan.

Posisi sebagai redaksi pelaksana, adalah posisi yang sebenar-benarnya pekerja di sebuah media. Dia mengatur alur penugasan semua awak redaksi. Dia juga yang nantinya yang harus bertanggung jawab terhadap hasil akhirnya, sebelum melaporkan ke pemred. Pada banyak kasus, redpel ( redaksi pelaksana ) dibebani beban mengatur penugasan setiap awak redaksi berdasar temayang akan digarap dalam sebuah edisi. Dialah yang akan mengatur, berita dan tema mana yang akan dikembangkan menjadi berita mendalam ( depth reporting ). Dan menetapkan siapa-siapa narasumber yang akan diwawancarai, sekaligus reporter yang akan mewawancarainya.

Sang redpel juga harus mempunyai jaringan narasumber yang luas dan terpadu. Maksudnya, narasumber itu bisa sewaktu-waktu dikontak untuk diwawancarai, karena dalam situasi krisis waktu, dibutuhkan kecepatan pengambilan keputusan atas nasib berita itu. Pada tataran yang lebih jauh lagi, sang redpel lah yang bertanggung jawab dalam merolling awak redaksi, terkait penempatan mereka di bidang liputan. Misalnya, si reporter A, tiga bulan ini bertugas di lingkup kepolisian, dan tiga bulan ke depan dipindah ke bidang pendidikan. Rolling itu sendiri, bagi reporter akan mendatangkan manfaat pada makin luas pengetahuan yang akan dikuasainya. Selain itu, akan makin banyak pula narasumber yang bisa dibinanya, sehingga menjadi narasumber yang setia dan bisa sewaktu-waktu dihubungi untuk dimintai komentarnya.

Lantas ?

Sang redpel lah yang harus bersusah payah setiap pagi, ( kalau itu media harian pagi,) atau setiap hari tertentu, ( kalau media itu terbitnya berkala, mingguan atau bulanan ) mencari berita-berita mana yang mengundang perhatian dan empati publik, untuk dikembangkan menjadi sebuah berita mendalam. Sebuah berita human interest, akan makin menarik, kalau ditulis dalam sebuah pelaporan mendalam, di mana ada sisi pro kontra nya di sana.

Sang redpel yang nantinya akan menjadi pengatur lalu lintas keluar masuknya awak redaksi dengan segala penugasannya. Kapan dia menstop seorang reporter saat harus mengejar narasumber A dan menggantikannya dengan narasumber B yang lebih kredibel dan lagi disenangi publik komentar-komentarnya. Ingat, seorang redpel sama sekali harus meninggalkan ego pribadi dan lebih mendahulukan kebutuhan pembacanya.

Pada kenyataannya, redpel lah yang harus jungkir balik dan mendampingi semua awak redaksi, mulai dari perencanaan atas penentuan tema dan berita yang akan diangkat, hingga berita itu selesai diedit oleh redaksi dan siap diturunkan dalam rubrikasi yang telah ditentukan.

Karena posisinya yang demikian strategis, maka sosok yang menempati posisi ini adalah mereka yang disegani karena kelebihan pengalaman jurnalistik karena senioritasnya dan kemampuan menulis serta luasnya jaringan berita yang dipunyainya. Saat mendapatkan sosok yang demikian, segeralah, rengkuh dia dan benamkan dalam keseharian yang melelahkan untuk posisi seorang redpel.

2.Redaksi

Setelah redpel, inilah posisi yang paling melelahkan dan mengundang tanggung jawab yang besar. Tanggung jawab yang besar ? Benar sekali. Redaksilah yang paling pertama menjadi filter atas kemungkinan lolosnya berita-berita yang kemungkinan mengundang somasi pihak lain. Maksudnya ?Temuan atas sebuah kasus oleh wartawan di lapangan, terkadang digarap oleh si wartawan tidak dalam kaidah jurnalisme yang benar. Si wartawan, kemungkinan karena memang dia malas, atau waktu yang tidak memungkinkan untuk cek ricek, konfirmasi dan lainnya. Akibatnya, berita yang dihasilkan hanya berita satu pihak, berita yang hanya mendasarkan pada satu narasumber yang merasa dirugikan oleh seseorang. Padahal, berita itu belum tentu benar. Berita itu masih perlu di konformasikan kepada pihak yang dituduh. Sebab kalau tidak, somasi bisa saja dilakukan oleh pihak-pihak yang merasa dirugikan oleh berita yang masih sumir itu.

Begitu pentingnya peran sang redaksi, sehingga sosok yang didudukkan di posisi itu haruslah sosok dengan pengalaman jurnalistik panjang dan mempunyai kemampuan menulis bagus. Dengan pengalaman panjangnya sebagai jurnalis, maka berita-berita yang masih meragukan dan kemungkinan bisa memunculkan masalah, bisa di pending, untuk di konfirmasikan lagi. Begitu juga dengan muatan-muatan politis dan kepentingan institusi dan atau organisasi di sebuah berita, akan dengan segera bisa diketahui untuk kemudian dipending atau di buang ke keranjang sampah, kalau memang tidak sejalan dengan visi misi medianya.

Karena kerjanya sendiri baru dimulai setelah sang reporter atau wartawan masuk kantor, maka jam kerjanya, untuk media harian pagi, kadang dimulai sore hari ( sesuai dengan deadline masing-masing rubrik yang diasuhnya ). Seorang redaksi, adalah mereka yang mempunyai ketekunan di depan komputer dalam meng edit dan memperbaiki tulisan – tulisan wartawan yang tidak semuanya bisa presklar. Seorang redaksi harus mempunyai kesabaran bertanya dan bertanya kepada wartawan, kalau dalam beritanya ada ketidakjelasan dan kekurang akuratan data dan fakta. Di atas semuanya itu, seorang redaksi adalah mereka yang mempunyai kecerdasan dan mampu melihat realita sosial yang berkembang di lingkungannya, untuk kemudian bisa digarap dalam sebuah pemberitaan yang menarik dan mendalam.

Di dalam managemen keredaksian, redaksi harus benar-benar mempunyai tanggung jawab yang besar atas halaman dan rubrikasi yang digawanginya. Agar berita yang tertampilkan tidak mendatangkan masalah bagi medianya.

3.Reporter

Untuk sebuah penerbitan, posisi reporter adalah urat nadi utama, yang akan menjadi jalan bagi jantung, untuk memompakan darah bagi kehidupan dan langgengnya sebuah media. Tidak bisa dipungkiri, reporter dan atau wartawan, adalah aset utama yang harus dijaga dan selalu dijaga konsistensi dan militansinya, demi kredibilitas media itu sendiri. Sekualitas dan sekaliber apapun sang Pemred dan Redpel, kalau tanpa mempunyai wartawan yang militan dan tanpa kompromi, hasil akhir dari media itu sendiri akan menjadi hambar, seperti sayur tanpa garam. Karena apa ?

Karena dimungkinan, berita-berita, liputan – liputan yang dihasilkan tidak akan maksimal. Narasumber yang diuber dan didapat oleh sang wartawan, tidak kredibel, tidak kapabel dan tidak menampilkan pendapat yang baru dan berdaya selling point tinggi. Para wartawan, meski sudah diberi arahan oleh sang redpel, harus mendapatkan hasil wawancara dengan sang narasumber ini dan itu, yang kapabel dan amat sangat kredibel, dengan alasan yang macem-macem akhirnya hanya mampu mendapatkan narasumber yang seadanya. Jadinya ? Berita yang diturunkan menjadi hambar, tidak menarik lagi.

Para wartawan malas, tanpa komitmen dan sama sekali tidak konsisten, juga sering kali hanya menunggu berita-berita hard news, berita-berita straight news, berita – berita kejadian yang ditemui dan diketahuinya. Itu sebenarnya bagus, kalau berita itu sendiri berita kecelakaan misalnya, atau perampokan dan berita kriminal lainnya. Lha kalau hanya sekedar berita seremonial, berita peresmian sebuah kantor dan atau peluncuran sebuah produk perusahaan ? Wartawan yang hanya mau datang dari kantor ke kantor, memburu acara seminar, diskusi dan acara-acara protokoler lainnya, lebih baik di resend saja. Ngopeni wartawan dengan perilaku seperti itu, hanya akan membuat pusing sang redpel.

Lantas bagaimana sih wartawan yang baik dan hasur di openi oleh sebuah media ?

Tidak ada yang sempurna di dunia ini. Demikian juga posisi sebagai wartawan. Kendala akan banyak sekali ditemui dalam keseharian mereka melaksanakan tugasnya. Hanya sebagai gambaram umum saja, wartawan yang baik adalah apabila dia mau bersusah payah mengembangkan sebuah berita yang aktual dan lagi jadi trending topic di masyarakat. Benar, wartawan yang mau mencari seseorang atau beberapa narasumber yang mendukung atau kontra atas sebuah berita yag aktual itu, itulah yang baik. Selain harus terus waspada memantau berita-berita straight news yang ada, dia juga harus berani mengorbankan waktu dan tenaganya, untuk menghasilkan laporan-laporan mendalam atas sebuah berita yang lagi jadi pembicaraan banyak orang.

Beat atau pangkalan wartawan mencari berita, idealnya juga harus di rooling dalam jangka waktu tertentu. Misal, wartawan yang berita mangkal di kepolisian, harus dipindah tempat penugasannya ke bidang pendidikan. Atau wartawan olahraga di roling ke bidang ekonomi. Demikian seterusnya. Hal itu penting, agar wartawan menguasai banyak permasalahan di wilayah penugasannya masing-masing. Selain memberikan pengalaman pada banyak bidang liputan, roling itu juga dimaksudkan agar wartawan tidak terlalu terlena dan akhirnya melupakan idealismenya sebagai pewarta. Maksudnya ?

Seorang wartawan yang lama bertugas di bidang pendidikan misalnya, ditakutkan akan terjerat pada skala prioritas dan kurang dapat mengembangkan obyektifitas penilaiannya atas sebuah berita, karena dia terbebani pada kedekatan dan hubungan baik yang dikembangkan oleh petugas humas / PR sebuah institusi. Hasilnya, berita-berita yang kemudian dihasilkannya, tidak lebih dan tidak kurang hanya berita release, berita-berita seremonial yang hanya bertujuan demi pencitraan dan atau pembesaran nama sebuah produk atau institusi. Hal itu bisa dimengerti dan bahkan harus disyukuri, kalau kemudian dari berita itu media yang bersangkutan bisa mendapatkan sponsor atau iklan. Lha, kalau tidak ?Wartawan seperti itu lebih baik di resend saja.

Sebenarnya, untuk menciptakan dan membentuk seorang wartawan menjadi militan dan mempunyai daya penciuman tajam atas sebuah berita yang hangat dan ber selling point tinggi, gampang kok. Caranya ? Penuhi kebutuhan minimal dia dan keluarganya, kalau mereka sudah berkeluarga. Kalau media yang bersangkutan memang kuat, lengkapi kebutuhan minimal itu dengan bonus – bonus yang lain. Di saat mereka sudah tidak lagi memikirkan kebutuhan keseharian keluarganya, maka untuk berharap mereka akan bekerja mati-matian demi sebuah berita yang bagus, sangat bisa diharapkan sekali.

Lantas untuk media sekolah bagaimana dong ? Kan di media sekolah tidak ada gaji atau honor ? Benar sekali itu. Untuk sebuah media sekolah, untuk menciptakan dan membentuk anak didik menjadi wartawan-wartawan yang militan di sela-sela waktu belajar dan tugas sekolahnya, yang harus dilakukan sang guru pendamping dan atau pemred dan redpel nya adalah, bagaimana menciptakan kekompakan, menciptakan iklim kebersamaan, sehingga ’bekerja’ di media sekolah itu menyenangkan. Yang mbaurekso di media sekolah, harus mampu menyuntikkan sejuta motivasi, semilyar harapan, bahwa belajar menjadi wartawan itu akan sangat sangat menguntungkan mereka di kemudian hari.

Intinya, bekerja sebagai wartawan, meski itu wartawan pelajar itu menyenangkan. Menjadi wartawan itu keren, karena dapat bertemu dengan siapa saja, kapan saja dan di mana saja. Menumbuhkembangkan sikap dan sifat profesionalisme meski dalam tataran yang masih sangat sederhana di lingkup media sekolah, menjadi keharusan diciptakan oleh guru pembimbing dalam lingkup keseharian. Dan itu harus dengan keteladanan, tidak dengan perintah dan perintah. Maksudnya, saat sang guru pendamping pontang panting, wawancara ke sana kemari, sibuk dengan segala persiapan dan penyiapan banyak materi untuk media sekolah, masak sih anak didik yang menjadi wartawannya akan berdiam diri begitu saja ? Tidak kan.

Keteladanan, itulah yang penting. Setelah itu muncul, maka mari kita lihat bersama hasil akhir mereka. Sebuah media sekolah yang akan menjadi kebanggaan dan mampu meningkatkan kredibilitas sekolah, itulah tujuan akhir dari semuanya. Dan itu harus diawali dengan pembinaan dan keteladanan yang baik, sehingga anak didik yang menjadi wartawannya, bisa mendapatkan apa yang di angan inginkan lewat keputusannya masuk menjadi wartawan di media sekolah.

4.Bendahara

Untuk posisi bendahara, akan dibahas lebih lengkap profil dan tugasnya di managemen administrasi dan keuangan. Posisi ini juga sangat penting, karena akan menjadi jalan tol bagi kelancaran proses kreatif semua awak media dalam kesehariannya.

5.Sekretaris

Ternyata tugas seorangsekretaris di sebuah media, lebih kompleks dan lebih melelahkan daripada sekretaris di banyak perusahaan lainnya. Kenapa, karena sekretaris di media masa, selain harus menjadi notulen atas rapat redaksi dan menyiapkan semua ubo rampe yang dibutuhkan awak redaksi di kesehariannya, dia juga harus menerima dan menyortir naskah-naskah yang dibuat wartawan, berdasarkan rubrikasi dan memberikan kepada para redaksi penanggung jawab rubrik yang bersangkutan.

Meski kompleks dan melelahkan, pekerjaan sebagai redaksi sebuah media, meski itu hanya media sekolah, itu menyenangkan. Karena dia akan bisa menemui banyak pengalaman terkait aneka ragam sifat sikap dan karakter awak media. Dia juga akan terus mendapatkan kesenangan, karena keceriaan dan padatnya beban tugas saat menjelang deadline. Semuanya, dipastikan akan membuat dan membentuk seseorang yang menjabat sebagai sekretaris di sebuah media, menjadi amat sangat menghargai waktudan mampu memunculkan skala prioritas dalam setiap polah kinerjanya.

Seseorang anak didik yang kemudian ditempatkan sebagai sekretaris, dipastikan akan menjadi lebih teliti dan lebih fokus pada apa yang sedang dikerjakannya. Karena ketidaktelitian dan kesembronoan, dipastikan akan memunculkan problematika besar terkait pendistribusian naskah dan atau berita kepada para redakturnya. Dia juga dipastikan akan mempunyai sikap dan sifat makin penyabar, karena padatya beban tugas, akan menjadikan dia harus mampu mengatur waktunya dengan seefektif dan seefisien mungkin.

Seorang sekretaris di sebuah media, dipastikan juga akan mendapatkan kemampuan menulisnya, karena setiap hari dia akan membaca dan membaca banyak tulisan. Pada tataran yang lebih jauh lagi, seorang sekretaris selain harus mendata keluar masuknya surat, dia juga akan menjadi tempat komunikasi dan penyambung pesan antara semua awak dengan awak lainnya.

10. Fotografer

Fotografer di sebuah media masa profesional, peran dan fungsinya amat sangat vital sekali. Karena dari hasil kinerjanya, halaman demi halaman di media, tidak menjadi membosankan dan penuh warna. Meski dalam lingkup pekerjaan jurnalisme saat ini, setiap wartawan juga dibekali kamera. Meski dalam spek standart, tetap saja posisi fotografer memegang peranan yang cukup penting.

Bagi media internal sekolah, yang terbit berkala, bulanan atau 3 bulanan, posisi fotografer malah menjadi amat sangat penting sekali. Karena, dialah yang nantinya juga harus hadir mendampingi para reporter memotret narasumber yangakan dan sedang diwawancarai. Pada ghalibnya, sang reporter itu sendiri yang harus memotretsendiri, apalagi kalau itu hanya untuk ilustrasi di halaman dalam yang tidak butuh foto bagus, yang penting jelas dan tidak buram. Tapi pada kenyataannya di lapangan, banyak pekerja media sekolah, entah itu karena kurang PD atau memang butuh pendamping karena masih grogi, perlu mengajak sang fotografer saat harus melakukan wawanara. Dan itu sah – sah saja, kalau kemudian yang diharapkan adalah foto dengan kualitas bagus, untuk menunjang eloknya halaman demi halaman di media internal.

Karena foto di dunia jurnalisme harus berbicara, harus bisa bercerita dengan sendirinya. Maka, bagaimana menghasilkan foto yang baik dan bagus, sesuai dengan kaidah dasar jurnalisme, itulah intinya. Dan seorang fotografer akan makin menjadi matang dan profesional, dengan menghasilkan foto-foto jurnalisme baik dan bagus, tidak lewat mana-mana, tapi lewat trial and error. Benar, lewat praktek langsung di lapangan, memburu foto-foto bagus, sembari mengembangkan insting dan kepekaan rasa dalam mengambil angel.

Jadi, jangan pernah takut untuk lelah,masuk ke dalam wilayah yang penuh dengan moment dan event dengan sisi humanitas tinggi. Jelajahi seluruh penjuru dan pelosok kota Semarang, kembangkan empati dan kemampuan rasa kalian, maka tunggulah hasilnya. Kalian pasti tidak akan pernah menduga, betapa foto yang kalian hasilkan, akan makin lama makin ’dalam’, makin memunculkan makna atas apa yang tergambar dalam foto itu sendiri.

Maka, selamat berlatih dan berlatih.


  1. Desain Grafis.

Orang / anak yang dipilih untuk menduduki posisi ini seharusnya adalah mereka yang mampu menguasai dan mempermainkan dengan kreatifitas tinggi program desain grafis seperti Corel Draw dan photo shop. ( saat ini ada juga program desain i Desain dan beberapa yang lainnya lagi.)

Apapun program desain yang dikuasai menjadi tidak penting lagi. Yang penting disini adalah, bagaimana anak / orang yang ditugaskan menjadi tenaga desain / lay out, benar-benar bisa menguasai dan menjadikan mainan demi pengembangan kreatifitas yang tinggi, semua fasilitas yang ada dan dipunyai di corel dan photo shop.

Anak yang menjadi desainer, seharusnya mempunyai jiwa seni dan mau mengeksplor semua kreatifitas dan inovasinya, sehingga halaman demi halaman majalah sekolah yang digarapnya, benar-benar menjadi sebuah perwujudan rasa seni dan fungsi masing-masing rubrik yang ada di media. Lewat anak ini, semua harapan digantungkan. Sehingga, saat dari sisi materi, media yang bersangkutan kurang mampu menampilkan secara maksimal, itu bisa ditunjang oleh tata letak, make up dan olahan sisi grafis halaman per halaman, agar enak dan sedap dinikmati oleh indera penglihatan.

Panduan dari redaksi, bahkan kalau perlu sang pemred, sangat diperlukan di sini. Karena kreatifitas dan inovasi satu anak saja tidak cukup untuk dapay menghasilkan sebuah desain dan lay out media yang menarik dan indah untuk dilihat. Keindahan saja ternyata tidak cukup, desain yang ditampilkan semestinya harus disesuaikan dengan rubrikasi disetiap halamannya. Sehingga ada pembeda yang akhirnya manjadi ciri khas dari setiap rubrikasi itu sendiri.

12.PROMOSI /MARKETING

Karena media internal sekolah bukan media umum profesional yang harus profit oriented, maka kerja dari mereka yang ditempatkan di bagian promosi dan marketing, tidak sepadat, se melelahkan bagian yang sama di media profesional. Tapi meskipun demikian, karena tujuan akhirnya tetap sama, yaitu bagaimana bisa mandiri terkait penyediaan dana untuk cost produksi, maka tetap saja ada pekerjaan buat posisi promosi dan marketing itu.

Menjadikan media internal itu mandiri dan tidak menggantungkan pada dana dari sekolah, itulah mungkin yang harus diemban bagian ini di job discription nya. Dan itu tidak salah, sehingga bagaimana dia melakukan mapping dan atau pemetaan atas orang tua anak didik yang mempunyai perusahaan atau memegang jabatan di sebuah institusi, itulah yang penting. Agar ada sasaran yang bisa dipakai untuk di loby, sehingga akhirnya ada kesanggupan dari mereka yang memegang jabatan itu untuk membantu penerbitan media internal sekolah.

Demikian juga mapping atas para alumni yang tersebar di banyak pekerjaan. Melakukan pendataan dan mengatasnamakan sekolah almamaternya, demi mendapatkan kesanggupan memasang iklan / sponsor, itulah yang harus dilakukan. Intinya, bagaimana bagian ini mampu menjalin relation ship, menjalin komunikasi sehingga akhirnya di dapat simbiosis mutualisme, antara produk perusahaan di mana alumni bekerja dengan media sekolah.

Bekerjasama dengan pihak terkait di sekolah, bagian promosi juga harus dengan tegas meminta semua perusahaan yang produknya dipakai sekolah dan atau anak didik, ’mengembalikan’ keuntungan yang selama ini sudah mereka nikmati dari produk yang dipakai sekolahan.

Maksudnya ? Untuk buku pelajaran bahasa Indonesia misalnya, selama ini sekolah memakai produk hasil penerbit Erlangga. Nah, bagian promosi dengan persetujuan sekolah, bisa memanggil penerbit yang bersangkutan, untuk di ajak sharing, dan kemudian di ’todong’ agar mau membantu memasang iklan / sponsor di media sekolah. Apa bisa dan apa mereka mau ?

Kenapa harus tidak mau ? Ingat saja, sekolah mempunyai bargaining position kuat, sehingga dapat memaksa semua perusahaan yang produknya di pakai. Untuk produk buku pelajaran misalnya, di luaran masih banyak penerbit yang juga memproduksi buku sejenis, dengan basis kurikulum yang sama, dan kualitas isi juga sama. Sehingga saat pihak perusahaan kemudian sekali mengelak dan tidak mau membatu penerbitan media sekolah, ancam saja, bahwa sekolah akan mencari penerbit lainnya yang mau membantu.

Yakinlah, penerbit dan atau perusahaan yang produknya dipakai sekolah, akan berpikir seribu kali saat diancam seperti itu. Dalam banyak kasus, perusahaan akhirnya mau berpartisipasi mensukseskan penerbitan media internal sekolah, karena ternyata di luaran masih banyak penerbit lainnya yang saling bersaing untuk masuk ke sekolah dan bisa menjual bukunya.

Jadi ? Seorang yang tegas, komunikatif dan mampu melakukan negosiasi dengan baik, itulah mereka yang dibutuhkan di posisi ini. Di media sekolah, mereka yang ditaruh di posisi ini lebih baik para tenaga didik, agar mampu melakukan bargaining dengan baik dan benar dengan banyak pihak. Anak didik, kalaupun memang ada, lebih baik diletakkan dalam posisi pembantu atau asistent.

13.DISTRIBUSI / SIRKULASI

Karena media internal sekolah, ruang lingkup wilayah edarnya tidak jauh – jauh amat, masih di seputar lingkungan sekolahan, maka pekerjaan bagian ini, dipastikan akan lebih santai dan tidak membutuhkan intelegensia yang lebih. Serahkan saja tugas ini pada mereka di bagian TU untuk pendataan dan pembagian eksemplar media yang mau didistribusikan. Sementara untuk menyebarkannya, bisa meminta bantuan pesuruh sekolah atau petugas lainnya yang ada waktu. Beres kan ?

Tapi dalam tataran yang lebih luas dan harapan yang makin membuncah, terkait persebaran dan pencitraan sekolah, media internal sekolah ternyata juga mempunyai peranan yang tidak kecil. Banyak harapan yang bisa diletakkan atas hadirnya media di sebuah sekolah. Sehingga atas peran itu, menyebarkan dan membagi gratis media ke institusi dan atau instansi negeri maupun swasta, seperti Diknas dan lainnya ( baca tulisan di depan ), akan bisa mendatangkan manfaat yang lebih terkait citra dan nama baik sekolah serta kemungkinan mendapatkan iklan dan sponsor yang lebih meluas.

Jadi, dengan arahan sang Kasek sendiri atau guru pendamping, bagian distribusi dan sirkulasi, bisa diarahkan untuk mengirim dan membagi gratis media ke institusi dan instansi negeri dan swasta yang ditunjuk. Begitu saja.

5.2Managemen Administrasi dan Keuangan

Manajemen administrasi dan keuangan sebuah media internal sekolah, bisa akan amat sangat sederhana, kalau kemudian media itu sendiri dibagi gratis di kalangan anak didik. Karena administrasi dan keuangannya hanya berkutat pada data anak di setiap kelasnya. Dan beberapa rekaan di luar lingkup sekolahan yang turut kebagian media itu.

Tapi kalau kemudian media itu sendiri dijual di mana anak didik diharuskan membeli, meski dengan harga yang murah, maka harus ada rincian pemasukan di setiap kelasnya. Harus ada rincian, hingga setiap anak didik yang mendapatkan media, dipastikan membayar dan dananya masuk dalam tabel neraca keluar masuk.

Tapi selain ditentukan oleh dibagi gratis atau berbayar nya media itu sendiri , kinerja bagian ini pada kenyatannya harus dengan rinci dan tepat mencatat cash flow keuangan. Dia harus teliti mendata dan memasukkan setiap danayang disubsidikan oleh pihak sekolah, juga dana dari iklan / sponsor yang berhasil di dapat. Pengeluaran yang harus dikeluarkan, misalnya untuk dana cetak, pembelian ATK dan lainnya termasuk gorengan yang menemani para awak redaksi ’nglembur’ menjelang deadline. Semuanya harus dicatat dan tercatat dengan rinci dan teliti.


Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun