Mohon tunggu...
Warkasa1919
Warkasa1919 Mohon Tunggu... Freelancer - Pejalan

Kata orang, setiap cerita pasti ada akhirnya. Namun dalam cerita hidupku, akhir cerita adalah awal mula kehidupanku yang baru.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Syair-Syair Kematian

20 Juli 2019   19:44 Diperbarui: 22 Juli 2019   08:19 469
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

****

“Sudah tiba saatnya sangkakala di tiupkan. Dan sudah tiba waktunya bahwa Bumi dan gunung-gunung akan di benturkan. Dan sudah di takdirkan hari ini langit terbelah menjadi dua bahagian. Telah tiba kematianmu di hari yang pernah di janjikan.” 

Di antara debu-debu yang beterbangan dari puing-puing bekas reruntuhan bangunan, pandangan mata 1919 tertuju ke arah sosok pria yang baru saja berbicara sambil menatap tajam ke arahnya itu.

Di tempat 1919 berdiri, saat ini Bumi masih berguncang hebat di iringi tiupan angin yang baru saja menumbangkan pohon-pohon kehidupan.

“Mas, lariii!” Pekikan Bidadari kuning emas mengagetkan 1919, tatkala dia tengah menatap semburat cahaya hitam pekat dari lubang besar di atas langit yang terbelah. 

Dari atas reruntuhan sisa-sisa gedung pencakar langit, di antara debu-debu yang masih beterbangan, 1919 kembali menatap sosok Pria Bertopeng yang mengenakan pakaian serba hitam di antara pekikan Bidadari kuning emas yang memintanya untuk segera pergi meninggalkan tempat ini.

“Siapa dia?” Tanya 1919 kepada Bidadari kuning emas yang saat ini sedang berpegangan pada salah satu besi yang menyembul dari sisa-sisa reruntuhan gedung pencakar langit yang sudah tumbang akibat di terpa angin punting beliung itu. 

“Dia adalah sang Pencabut Nyawa.” Pekik Bidadari kuning emas di antara suara gemuruh angin punting beliung di tempat ini.

“Apa yang sebenarnya sedang terjadi di tempat ini?” Tanya 1919 pada sosok wanita cantik yang memakai kerudung dan pakaian berwarna kuning emas itu sambil melihat sisa-sisa bangunan yang sudah tidak lagi utuh itu. 

“Dia telah menghancurkan tempat ini dengan syair-syair kematiannya.” Kata Bidadari kuning emas sambil menunjuk ke arah Pria Bertopeng yang memakai pakaian serba hitam yang masih terus berjalan mendekat ke arahnya. 

“Siapa dia sebenarnya, kenapa dia ingin menghancurkan dunia Syair ini?” Tanya 1919 lagi di antara suara gemuruh angin yang masih bertiup kencang di tempat ini.

“Dialah sang Penyair yang bait-bait syairnya itu mampu menghitamkan langit yang sedang cerah di kala hatinya sedang gundah.” Jawab Bidadari kuning emas sambil mengibas-ngibaskan pakaiannya yang tadi sempat tertutupi oleh debu dari sisa-sisa reruntuhan bangunan saat angin bertiup kencang tadi.

Sambil terus menatap pria bertopi panjang yang mengenakan topeng untuk menutupi wajah aslinya, 1919 kembali mendengarkan bait demi bait syair milik Pria Bertopeng yang baru saja membelah langit dan mengguncang dunia dengan bait-bait syairnya itu.

“Akhirnya aku berhasil juga memancingmu untuk datang ke ke tempat ini. Ternyata jeritan perempuan yang terdengar hingga ke duniamu itu membuatmu lupa bahwa kau bukan siapa-siapa disini. 

1919 selamat datang di dunia Syair. Dunia yang akan menjadi kuburanmu bersama Wanita itu di tempat ini!” Kata Pria Bertopeng yang mengenakan pakaian serba hitam itu sambil menunjuk Bidadari kuning emas.

“Lari, Mas! Selamatkan dirimu sebelum dia berhasil membunuhmu dengan bait-bait syair kematian miliknya itu!” 

Bidadari kuning emas mendorong tubuh 1919, menyuruhnya segera pergi dari tempat ini.

“Ikutlah ke dunia Cerpen bersamaku,” kata 1919 pada Bidadari kuning emas di depannya itu.

“Tidak Mas! Ini duniaku, aku terlahir dan besar di tempat ini dan aku tidak akan pergi meninggalkan dunia Syair ini walaupun aku harus mati di tangan pria Bertopeng itu.” 

Bidadari kuning emas berusaha menahan tangisnya sendiri saat kembali melihat teman-temannya di dunia Syair itu saat ini telah menjadi tumpukan mayat di tempat ini.

“Jika begitu aku tidak akan pergi dari tempat ini.” Kata 1919 lagi sambil menatap mata sembab Bidadari kuning emas di depannya itu.

“Kenapa Mas? Aku mohon pergilah, tinggalkan aku di dunia Syair yang sudah hancur berantakan ini. Selamatkan dirimu.” 

Bidadari kuning emas menatap pilu ke arah reruntuhan bekas kota tempat tinggalnya bersama para penyair dulu.

“Tidak! Apapun yang terjadi aku tidak akan pergi meninggalkanmu sendirian di tempat ini.”

“Dia akan dengan mudah membunuhmu di tempat ini Mas! Ini dunia-nya. Di dunia Syair ini kekuatanmu yang berasal dari dunia Cerpen itu tidak akan berguna sama sekali di tempat ini. 

Dan saat ini tidak ada yang mampu mengalahkan kekuatan bait-bait syair kematian di dunia syair ini.”

“Demi engkau aku rela mati di tangan Pria Bertopeng di tempat ini.” Kata 1919 sambil menatap Pria Bertopeng yang masih terus berjalan mendekat ke arahnya.

Di ujung sana lubang besar berwarna hitam di tengah-tengah langit yang sudah terbelah itu terus menyedot benda apa saja yang berada di bawahnya. 

“Sudah tiba saatnya sangkakala di tiupkan. Dan sudah tiba waktunya bahwa Bumi dan gunung-gunung akan di benturkan. Dan sudah di takdirkan hari ini langit terbelah menjadi dua bahagian. Telah tiba kematianmu di hari yang pernah di janjikan.” 

Pria Bertopeng kembali membacakan bait-bait syair kematian. 

Lubang besar yang mengeluarkan cahaya hitam itu terus bergerak mengikuti langkah kakinya.

“Siapa dia sebenarnya, kenapa dia ingin membunuh semua penyair di tempat ini?” Tanya 1919 setengah berbisik pada Bidadari kuning emas yang saat ini tengah memeluk erat tubuhnya itu.

“Dahulu dia hanyalah penyair biasa, tetapi semenjak syair-syair-nya itu di rasuki roh Dewi kematian pada saat gerhana bulan di atas bukit cinta. Saat ini bait-bait syair miliknya itu berubah menjadi bait-bait yang begitu menakutkan. 

Lihat itu, itu adalah salah satu hasil bait-bait syair miliknya.” Kata Bidadari kuning emas sambil menunjuk ke arah lubang hitam di tengah-tengah langit yang terbelah itu.

“Dewi Kematian?” Gumam 1919 sambil menatap wajah Bidadari kuning emas di dalam dekapannya itu.

“Dewi Kematian adalah seorang penyair yang sudah meninggalkan dunia Syair ini karena dendam kesumat dan kesedihan yang begitu mendalam tatkala Pria pujaan hatinya itu lebih memilih wanita lain di bandingkan dirinya saat itu. Dan sebelum pergi meninggalkan dunia Syair ini, dia telah memberi kutukan pada bait-bait syair ciptaannya itu. 

Dan saat ini bait-bait syair kutukannya itu telah di gunakan oleh Pria Bertopeng untuk membunuh dan menghancurkan dunia Syair ini.

Lihatlah mereka-mereka yang telah menjadi korban keganasan bait-bait syair kematiannya.” Jawab Bidadari kuning emas sambil menunjuk ke arah tumpukan mayat di bawah kaki Pria Bertopeng yang saat ini tengah berdiri sambil menatap tajam ke arahnya.

Di antara angin yang bertiup kencang, di atas reruntuhan bekas bangunan dan di antara darah-darah yang mengalir dari mayat-mayat yang bergelimpangan bersama reruntuhan bekas bangunan dunia Syair, Pria Bertopeng kembali mengucapkan bait-bait syair kematian sambil mengangkat kedua tangannya di bawah lubang besar berwarna hitam di tengah-tengah langit yang terbelah dua.

“Sudah tiba saatnya sangkakala di tiupkan. Dan sudah tiba waktunya bahwa Bumi dan gunung-gunung akan di benturkan. Dan sudah di takdirkan hari ini langit terbelah menjadi dua bahagian. Telah tiba kematianmu di hari yang pernah di janjikan.” 

Bidadari kuning emas semakin memeluk erat tubuh 1919 ketika cahaya hitam yang berasal dari dalam lubang besar di tengah-tengah langit yang terbelah itu perlahan-lahan mulai bergerak kearah dimana 1919 dan Bidadari kuning emas itu berdiri sambil berpelukan antara satu dengan yang lainnya. 

“Lihat itu Mas, lihat sisa-sisa reruntuhan bangunan dan pohon-pohon kehidupan yang tadi telah tumbang akibat di terpa angin kematian saat ini hancur lebur terkena sambaran cahaya hitam yang berasal dari dalam lubang hitam itu. Kiamat telah tiba, dunia Syair sebentar lagi hanya tinggal nama. 

Maafkan aku, Mas. Pada akhirnya engkaupun harus mati bersamaku di dunia Syair ini. Mas, aku mencintaimu.” Rintih Bidadari kuning emas sambil menangis sesegukan, bersiap menanti ajal bersama Pria yang di cintainya itu di tangan Pria Bertopeng di dalam dunia Syair ini.

“Tidak! Ini bukan kiamat seperti yang pernah di kabarkan oleh kitab suci itu, ini hanya bencana akibat dendam kesumat yang tidak terbalaskan dulu! dan aku tidak pergi meninggalkanmu sendirian di tempat ini. Jika memang aku harus berakhir di tempat ini, aku iklas mati bersamamu.” Kata 1919 pelan sambil mengecup kening Bidadari kuning emas di dalam dekapannya itu.

1919 tahu, sebenarnya bait-bait syair kematian itu di ciptakan oleh Dewi Kematian untuk membunuh dirinya karena dahulu dia lebih memilih Bidadari kuning emas yang saat ini tengah memeluk erat tubuhnya sambil memejamkan kedua matanya siap mati bersama lelaki yang begitu di cintainya itu.

---

“Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhan-nya di pagi dan senja hari dengan mengharapkan keridhaan-nya, dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah kami lalaikan dari mengingat kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaan itu melewati batas.” (SURAT : AL KAHFI Ayat 28).

Di antara hembusan angin yang bertiup kencang, di bawah langit yang menghitam, sebelum cahaya hitam yang berasal dari dalam lubang hitam di tengah-tengah langit yang terbelah itu menyapu tubuh 1919 dan Bidadari kuning emas yang sudah pasrah menerima ajal di tempat ini, tiba-tiba saja terdengar suara di atas langit dunia Syair bersamaan dengan munculnya seberkas cahaya putih keperakan yang langsung menghantam cahaya hitam yang berasal dari lubang hitam yang tercipta dari kekuatan bait-bait syair kematian.

BOOM! 

Bumi kembali berguncang hebat untuk yang kesekian kalinya. Bersamaan dengan suara letusan saat beradunya cahaya putih keperakan dan cahaya berwarna hitam di atas langit dunia Syair, tubuh Pria Bertopeng itu terbakar lalu berubah menjadi asap dan menghilang bersamaan dengan tertutupnya kembali lubang besar di tengah-tengah langit yang terbelah. 

****

Dunia Syair sunyi senyap, saat ini suasana begitu hening, angin bagaikan berhenti, air nyaris tak beriak, yang terdengar saat ini hanyalah suara sesegukan Bidadari kuning emas yang tengah menangis karena baru saja berhasil lolos dari kematian. 

“Jangan menangis, engkau tidak sendirian ada aku yang akan selalu menjagamu di tempat ini.”

Suara 1919 terdengar pelan di antara suara tangisan Bidadari kuning emas di tempat ini. 


-Sekian-

Catatan : Di buat oleh, Warkasa1919 dan Apriani Dinni di Sembilan Belas Sembilan Belas. Jika ada kesamaan Foto, nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun