Akhir September 2025. Hari beranjak sore dan sudah lebih dari satu jam hujan turun tanpa jeda.
Untungnya saya sudah berteduh di tempat yang tepat. Tak jauh dari kampus Universitas Jenderal Soedirman, sedikit menepi ke utara pusat kota Purwokerto. Di sebuat bangunan mungil yang entah bagaimana cara tepat mendefinisikannya. Apakah ini caf rumahan dengan perpustakaan yang menempel? Ataukah perpustakaan rumahan yang ditempeli dapur kecil?
Tempat itu bernama Coffee At Home. Dari namanya banyak orang akan cepat membayangkan kedai atau caf tempat menikmati kopi. Tempat para penggemar kopi berkumpul merayakan rasa pahit dan asam kesukaan masing-masing.
Akan tetapi tunggu dulu. Memang di sini pengunjung bisa memesan segelas kopi panas atau dingin dan kemudian duduk berjam-jam  dengan yang segelas itu. Akan tetapi menu terbaik di tempat ini bukan seduhan arabica atau robusta. Melainkan hal lain yang ada di rak-rak dan lemari yang berjejer di dalam ruangannya.
Berlokasi di Jalan Mohammad Besar No. 16 Purwokerto, Coffee at Home mengisi seruas tepian jalan yang lebar dan lengang. Hamparan sawah masih bisa dijumpai di sekitarnya.
Wujud luarnya seperti kebanyakan caf yang mengincar segmen anak muda. Halaman depannya terbuka sebagai taman yang ditata sedemikian rupa dengan komposisi tanaman, kursi serta meja yang tidak terlalu rapat dan padat. Sebuah gazebo berdiri lebih tinggi di tengah halaman.
Sebelum masuk ke ruangan utamanya yang mungil, terlebih dahulu melalui serambinya dengan sebuah meja kayu panjang dan beberapa kursi. Aneka tanaman berdaun lebar berjejer di depannya. Bisa dibayangkan nyamannya duduk santai di serambi ini saat hari terang tanpa hujan.
Dari serambi bisa terlihat sebagian suasana ruangan karena jendela dan pintu kacanya mengantar langsung pandangan ke dalam. Begitu pintu dibuka, sebuah dapur kecil menyapa. Seolah hendak mengingatkan setiap yang berkunjung untuk tak lupa memesan lebih dulu kudapan sebagai teman duduk. Di sinilah saya memesan setangkup roti bakar dengan selai srikaya dan segelas teh leci panas.
Berhadapan dengan dapur mungil ada sekumpulan meja dan kursi yang ditata merapat ke dinding dan jendela kaca. Saya mengambil tempat pada salah satu kursi dan meja dekat pintu.
Menunggu pesanan tiba, saya hampiri rak-rak dan lemari yang mengisi banyak celah di dalam ruangan. Â Rasa gembira menyergap saat menemukan nama-nama penulis besar dan judul-judul bagus tersusun rapat di setiap rak dan lemari. Saat itulah saya mengerti bahwa menu terbaik di Coffee At Home bukanlah kopi, teh atau roti bakarnya. Melainkan buku-buku yang saya tak tahu persis berapa jumlahnya.Â
Begitu kentalnya aroma buku di tempat ini sehingga password wifi yang saya terima dari kasir pun berupa susunan huruf yang membentuk nama seorang penulis besar dunia.
Banyak buku bisa ditemukan di Coffee At Home. Dari yang berbahasa Indonesia sampai bahasa asing. Mulai dari sastra, sejarah, biografi, hingga politik. Mulai dari karya penulis populer masa kini semisal Ziggy hingga sastrawan besar Pramoedya Ananta Toer. Buku-buku dari para penulis besar lainnya juga bersemayam di sini. Sebut saja Nh. Dini, Mochtar Lubis, Okky Madasari, Eka Kurniawan, Ayu Utami, Budi Dharma, Laksmi Pamuntjak dan sebagainya.
Setangkup roti bakar seharga Rp17000 atau Rp12000 untuk segelas teh hangat bisa diterima karena buku-buku istimewa tersebut bisa diambil dan dibawa ke meja. Anggap saja harga minuman dan makanannya sebagai tiket untuk membaca buku-buku bagus sepuasnya. Namun, minum dan makanlah dengan cara yang wajar agar tak mengotori bukunya.
Seperti sore itu saat sejumlah orang terlihat mengetik bersama laptopnya dan beberapa yang lain khidmat membaca. Segelas minuman dan sepiring makanan menyertai menit demi menit hingga bilangan jam yang mereka lalui bersama beberapa buku di meja. Andai mereka datang berkali-kali dalam seminggu pun, Â nampaknya tetap bisa menemukan judul-judul baru untuk dibaca.
Memang akan nampak ganjil jika datang ke sini hanya untuk minum kopi atau teh tanpa mengambil sebuah buku. Akan sangat rugi datang cuma membawa maksud mengisi perut yang kelaparan karena Tetralogi Buru karya Pramoedya Ananta Toer sangat bisa mengatasi lapar dan hausnya rasa ingin tahu.
Lagipula jika sekadar ingin mengisi perut, menu-menu di sini bisa dijumpai di tempat lain dengan kualitas rasa yang hampir sama. Bahkan, mungkin dengan harga yang lebih murah.
Namun, memang di sinilah orang bisa mencecap kopi sambil membaca kitab Arus Balik. Â Di sini pun saya dibuat tersenyum menikmati roti bakar dengan selai srikaya yang lembut sambil memandangi buku-buku Nh. Dini terpajang di salah satu rak.
Di Coffee At Home keseimbangan antara ruang baca dan ruang makan nampaknya dipikirkan betul. Jumlah meja dan kursinya tidak terlalu banyak meski beberapa bagian ruangan dan halamannya masih bisa dijejali dengan sejumlah kursi dan meja.
Sudah dua jam saya berteduh di Coffee At Home. Hujan tak lagi lebat dan hanya menyisakan gerimis ringan. Namun, beberapa orang masih berdiam bersama buku dan layar laptop yang tetap menyala. Belum nampak tanda mereka hendak beranjak
Memang  benar benih literasi dan minat baca bisa dipupuk dengan berbagai cara. Tumbuhnya tak melulu melalui toko buku, bazar buku, atau ruang kelas.
Selalu ada tempat dan cara untuk jatuh cinta pada buku. Bagi beberapa orang jatuh cintanya yang pertama kali pada buku mungkin terjadi di ruangan mungil dengan dapur yang menyediakan kopi dan teh seperti Coffee At Home.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI