Mohon tunggu...
Hendra Wardhana
Hendra Wardhana Mohon Tunggu... Administrasi - soulmateKAHITNA

Anggrek Indonesia & KAHITNA | Kompasiana Award 2014 Kategori Berita | www.hendrawardhana.com | wardhana.hendra@yahoo.com | @_hendrawardhana

Selanjutnya

Tutup

Foodie Artikel Utama

Apakah Food Influencer di Instagram Sering Bohong?

4 Mei 2023   08:23 Diperbarui: 4 Mei 2023   10:34 686
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kuliner viral, hidden gem, khas rumah nenek! (dok. pribadi).

Rabu kemarin menjelang pukul 12.00 sambil menunggu makan siang saya membuka instagram. Salah satu unggahan teratas yang paling awal muncul berasal dari akun influencer kuliner atau instagram foodies. 

Semesta seolah mendukung. Saya yang hendak makan lebih dulu disuguhi gambar-gambar makanan yang menggugah selera. Apakah melihat konten food influencer bisa disamakan dengan menikmati "appetizer" secara virtual?

Harus diakui bahwa foto-foto dan video yang diunggah para influencer kuliner selalu menarik. Komposisi, warna, sudut pemotretan, dan detail lainnya sangat ciamik. Kadang saya ingin memiliki keterampilan memfoto makanan dan minuman seperti demikian. Sering menirunya, tapi hasilnya tak semantap foto-foto buatan food influencer. 

Foto kuliner yang diunggah siang itu pun nampak manis. Memperlihatkan piring-piring penuh makanan yang nampak lezat. Berupa resep nusantara yang sudah familiar bagi lidah orang Indonesia. Disajikan di sebuah tempat makan yang lokasinya tak asing bagi saya. Jalan tempat warung itu berdiri sering saya lewati.

Lazimya konten kuliner, foto tersebut menyertakan caption sebagai pendukung. Sudah tentu kalimat caption-nya mengandung maksud mempromosikan tempat makan beserta sajian-sajiannya. Tak lupa kelebihan tempat makan itu pun disebutkan.


Namun, kalimat-kalimat yang tertulis di caption agak menggelitik. Pada intinya, sang influencer menggambarkan bahwa tempat makan tersebut merupakan favoritnya. Banyak tempat makan serupa di Yogyakarta, tapi ia setia dan bertahan. Selain itu kenikmataan makan di tempat tersebut seperti layaknya berada di rumah nenek.

Pertama-tama saya meragukan klaim bahwa sang influencer merupakan pelanggan yang telah setia bertahan memilih tempat makan tersebut. 

Mengapa demikian? Sebab tempat makan itu baru buka pada akhir April. Dengan umur yang masih seumur jagung, berapa besar kemungkinan tempat makan tersebut sudah punya pelanggan setia?

Seberapa sering sang influencer makan di sana dalam seminggu terakhir? Apakah hampir setiap hari ia mengunjunginya seperti layaknya pelanggan? Atau baru sekali ia singgah saat ingin membuat konten?

Menurut pemahaman saya, sebutan pelanggan setia yang bertahan pada pilihan tempat makan atau makanan tertentu paling tidak memiliki dua hal. Pertama, tempat makan itu sudah berdiri lama. Hitungannya tahun. Bisa dua tahun, lima tahun atau lebih lama lagi.

Kedua, pelanggan setia ialah orang yang konsisten bertamu. Jika tempat makan itu sudah berdiri 2 tahun, paling tidak pelanggan setia sudah bolak-balik mengunjunginya selama 1 tahun terakhir. Atau bahkan sejak awal tempat makan itu ada.

Ukuran atau kriteria tersebut memang bukan patokan mutlak. Siapapun boleh menganggap dirinya seorang pelanggan setia menurut pemahaman masing-masing. 

Walau demikian, nampak berlebihan jika tempat makan yang baru berumur kurang dari 2 pekan dipromosikan sebagai destinasi kuliner dengan pelanggan setia yang tetap bertahan seolah tempat itu merupakan dapur legendaris.

Hal lain yang juga menggelitik dari caption kuliner tersebut ialah suasananya yang seperti di rumah nenek. Kita bisa punya definisi "rumah nenek" yang berbeda-beda. Sebab setiap orang punya nenek yang rumahnya tidak seragam. 

Namun, jika yang dimaksud "rumah nenek" oleh influencer ini ialah suasana rumah yang sederhana dengan perabot dan interior yang kental memancarkan kekunoan, maka tempat makan yang satu ini tidak memilikinya.  Sebab tempatnya berupa ruko dan desainnya yang minimalis-modern tidak seperti gambaran rumah nenek di kampung-kampung khas Indonesia.

Jadi, "rumah nenek" seperti apa yang sedang dipromosikan oleh sang influencer?

Konten kuliner dan caption seperti di atas cenderung overclaim. Sang food influencer mungkin terlalu antusias dalam mempromosikan tempat makan ini. Sehingga yang ditulisnya kurang masuk akal atau kurang selaras dengan kondisi yang ada.

Ataukah memang demikian tren promosi kuliner di media sosial? Suka dilebih-lebihkan dengan menambahkan sesuatu yang tidak ada atau tidak sesuai. Seperti halnya sekarang menjamur tempat makan dengan julukan "hidden gem". Serta banyak makanan yang mendadak diberi label "viral". 

Dulu saya pernah dibuat heran dengan bahasa promosi seorang food influencer lainnya yang mengunggah warung sate dengan label hidden gem. Padahal tempatnya berada di kawasan jantung kota Yogyakarta. Bersinggungan dengan Malioboro dan berada di pinggir jalan raya yang ramai. Rasanya orang-orang telah lama mengenali dan mudah menemukan warung sate ini.

Oleh karena itu, julukan "hidden gem" tidak tepat. Terkesan latah atau berlebihan karena kurang sesuai dengan kondisi sebenarnya. Seolah-olah tempat makan ini tersembunyi dan tidak banyak orang yang tahu.

Apakah overclaim termasuk kebohongan? 

Mungkin  itu tidak melanggar aturan media sosial. Mengobral label "hidden gem" dan "viral" agaknya semacam SOP wajib bagi food influencer menuruti gaya serupa yang dilakukan oleh food vloger/youtuber. Atau serupa dengan judul bombastis dan clickbait yang sudah lebih dulu jamak diterapkan pada artikel-artikel buatan media.

Akan tetapi promosi dengan klaim-klaim berlebihan membuat orang yang datang terlanjur membawa ekspektasi atau harapan tertentu. Lalu saat datang dan membuktikan ternyata harapannya tidak terpenuhi, pembeli menjadi kecewa dan merasa bahwa kuliner itu overrated. 

Padahal, jika dipromosikan dengan caption dan klaim sewajarnya, tempat-tempat makan atau makanannya itu sebenarnya tetap bisa dinikmati secara apa adanya. Tanpa diberi bumbu "hidden gem", "viral", atau "rumah nenek" yang justru bisa mengganggu autentisitas sajian sebenarnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun