Mohon tunggu...
Hendra Wardhana
Hendra Wardhana Mohon Tunggu... Administrasi - soulmateKAHITNA

Anggrek Indonesia & KAHITNA | Kompasiana Award 2014 Kategori Berita | www.hendrawardhana.com | wardhana.hendra@yahoo.com | @_hendrawardhana

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Semoga Tak Ada Varian "Susu Beruang Jahe"

5 Juli 2021   08:21 Diperbarui: 5 Juli 2021   08:24 726
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Berebut Susu Beruang |foto: kaltim.tribunnews.com

Kemarin saya menonton sebuah video yang viral di media sosial. Sangat menarik sebab di video itu tampak orang-orang berebut memborong salah satu merek susu kemasan ternama. Kita mengenalnya dengan sebutan "Susu Beruang". Sebab gambar atau logo beruang di kemasannya sudah terlanjur ikonik.

Para pembeli itu saling dorong untuk mendapatkan kaleng susu paling banyak. Membuat troli berjatuhan dan sejumlah kaleng berjatuhan ke lantai. Sementara para pegawai supermarket atau mall itu menyingkir karena melihat gelagat  "bar-bar" para pembeli.

Di sisi lain akhir-akhir ini orang tua saya juga sering mengingatkan anaknya di rantau untuk rajin meminum Susu Beruang. Katanya jangan lupa sediakan stok Susu Beruang.

Saya sangat menghargai saran itu. Kepeduliaan orang tua tidak pernah salah bagi saya. Namun, sampai detik ini saya tak punya satu kaleng pun Susu Beruang.

Bukan meremehkan khasiat susu tersebut. Saya hanya terlanjur punya selera lain. Saya lebih suka susu merek lain yang lebih ekonomis. Itu pun tidak setiap hari saya meminumnya.

Oleh karena itu, saran untuk menyediakan stok Susu Beruang belum bisa saya ikuti. Apalagi jika harus berebutan seperti orang-orang di video tersebut.

Saya pun teringat lagi tahun lalu supermarket langganan saya yang tak jauh dari kampus UGM membatasi pembelian Susu Beruang. Setiap pembeli hanya diperbolehkan mengambil maksimal 2 kaleng saja.

Saya yang bukan peminum Susu Beruang tidak terlalu menaruh perhatian dengan pembatasan tersebut. Sejumlah pembeli lain pun saya amati tidak terlalu berminat. Mungkin karena pada dasarnya susu ini harganya mahal sehingga bukan menjadi pilihan utama untuk dikonsumsi secara rutin.

Seiring waktu pembatasan jumlah pembelian  dicabut. Orang kembali bisa membeli Susu Beruang berapapun banyaknya. Mungkin pengelola supermarket sudah menganalisis selera konsumen yang tidak menunjukkan tanda-tanda adanya "demam Susu Beruang". Lagipula saat itu orang masih lebih khawatir tidak mendapatkan masker dan hand sanitizer dibanding kehabisan Susu Beruang.

Waktu bergulir dan virus Corona bermutasi. Setelah 1,5 tahun pandemi selera konsumen ternyata ikut bermutasi. Meski pola perilakunya tetap sama.

Orang tak khawatir lagi dengan masker dan hand sanitizer yang harganya sudah murah dan dijual di mana-mana. Bukan lagi empon-empon yang diburu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun