Di sini hukum "Bad Content is a Good Adsense" berlaku. Semakin "ngaco" kontennya  dan semakin "toxic" opininya akan menguntungkan karena kontroversi pasti mengundang banyak penonton. Motivasi demikian didukung oleh kondisi masyarakat yang lemah literasinya serta rapuh pondasinya dalam menyeleksi fakta dan imaji.
Maka bisa dibayangkan betapa bahayanya daya rusak konten-konten buruk yang dihasilkan karena kebodohan dan dilandasi motivasi yang kurang baik. Ini yang beberapa kali kita saksikan di tengah pandemi Covid-19.
Ketika sebagian masyarakat berusaha keras untuk terus saling menjaga dan melindungi sesama, selalu ada pihak lain yang justru menjerumuskan keselamatan masyarakat dengan suara-suara berisiknya yang ngaco.
Sementara obat atau vaksin bisa diupayakan lebih cepat, bahaya-bahaya mematikan dari virus lain berupa konten buruk di media sosial sesungguhnya lebih sulit dibasmi karena kapan pun upaya untuk menyuarakan klaim-klaim itu tidak akan pernah berhenti.
Oleh karena itu, selagi jutaan nyawa terus berusaha diselamatkan setiap harinya, kita tak boleh menutup mata terhadap daya rusak konten-konten buruk di media sosial. Jangan sampai korban bertambah justru disebabkan oleh pandemi konten buruk dan berita bohong.
Sudah saatnya kita lebih sadar akan fungsi tombol block, report, unfollow, dan unsubscribe.