Mohon tunggu...
Hendra Wardhana
Hendra Wardhana Mohon Tunggu... Administrasi - soulmateKAHITNA

Anggrek Indonesia & KAHITNA | Kompasiana Award 2014 Kategori Berita | www.hendrawardhana.com | wardhana.hendra@yahoo.com | @_hendrawardhana

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

"Bad Content is a Good AdSense", Perilaku Bodoh dan Jahat Memburu Untung di Tengah Pandemi

5 Agustus 2020   08:03 Diperbarui: 5 Agustus 2020   09:53 639
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media Sosial (foto: shutterstock).

Kalau motivasinya mendulang rupiah saja, mungkin masih bisa dimaklumi. Kita bisa memfilternya atau memilih untuk menonton konten itu atau tidak. Akan tetapi motivasi memburu rupiah seringkali disertai motivasi-motivasi lainnya yang bisa jadi lebih destruktif. Sebutlah untuk menyebarkan "kebenaran" menurut versinya.

Memang tidak ada kebenaran tunggal. Kebenaran sifatnya relatif. Setiap orang yang memiliki pikiran mampu mencari kebenaran melalui pengalaman-pengalaman hidup. Kebenaran juga bisa didekati dengan pembelajaran yang bisa ditempuh setiap orang.

Walau demikian di dunia ini juga ada ilmu pengetahuan sehingga klaim kebenaran selalu bisa diuji dan dibuktikan. Oleh karena itu, klaim kebenaran tidak persis sama dengan kebebasan berpendapat, apalagi kemerdekaan berkomentar.

Masalah muncul ketika seseorang atau sekelompok orang merasa bahwa klaim kebenarannya perlu diikuti oleh orang lain.

Sekelompok orang itu menganggap bahwa kebenaran versi mereka perlu juga dijadikan kebenaran umum yang diimani oleh sebanyak-banyaknya orang.

Apapun caranya klaim kebenaran itu harus dipercaya. Termasuk dengan memanfaatkan media sosial.

Di sinilah bahayanya jika ada kreator konten yang karena kebodohan atau memiliki motivasi kurang baik berupaya memproduksi rangkaian opini atau kebohongan yang disampaikan seolah-seolah sebagai realitas yang sahih. Semakin bahaya jika konten itu terkait bencana atau klaim kebenaran tersebut disampaikan di tengah situasi bencana.

Kalau pemicunya hanya karena kebodohan atau ketidaktahuan, itu tidak terlalu mencemaskan karena kondisi ketidaktahuan ibarat gelas yang kosong atau baru berisi sebagian. Kita bisa mengisinya ulang dengan informasi-informasi yang baik sehingga yang bodoh itu bisa berubah menjadi lebih baik. Gelas yang kosong pun akan menjadi bejana yang berisi kebenaran dan bisa mengalirkan kebenaran pula.

Begitu pun jika konten yang buruk lahir dari sebuah motivasi yang kurang baik. Keburukannya masih bisa diluruskan.

Namun, akan jadi bencana besar jika konten yang buruk memang sengaja dibuat dengan dasar kebodohan dan motivasi jahat sekaligus. Ibarat gelas yang kosong dan tertutup, ia tak bisa diisi ulang. Tutupnya menolak apapun yang hendak diisikan ke dalam gelas. Maka meski sudah berulang kali dihadapkan dengan cahaya ilmu pengetahuan, kebodohan itu tak tercerahkan. Walah sudah ditunjukkan fakta yang baik, keburukan tetap mencekeram motivasinya.

Pada era media sosial yang menjanjikan samudera keuntungan materi dan popularitas seperti sekarang, tidak menutup kemungkinan ada orang bodoh sekaligus jahat yang sengaja membuat klaim kebenaran untuk meraih keuntungan pribadi dengan memanfaatkan segala macam keadaan, termasuk bencana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun