Puasa Ramadan di tengah pandemi Covid-19 menghamparkan banyak pelajaran. Salah satunya menyeret kita ke dalam perenungan  tentang hubungan dengan Allah dan sesama manusia. Masalahnya, sejauh mana kita menyerap makna ibadah tersebut?
Sudah berapa kali kita berjumpa dengan Ramadan? Tidak sulit menghitungnya. Anggaplah sejak kecil ketika pertama kali kita belajar puasa. Namun, apakah kita telah mengoptimalkan setiap perjumpaan dengan Ramadan untuk mengubah diri menjadi lebih baik?
Jangan-jangan kita telah melewatkan banyak kesempatan memperbaiki diri sebanyak kita menjumpai Ramadan. Selama ini kita selalu bersuka cita menyambut Ramadan, tapi hanya dengan sedikit perbaikan. Padahal, kita tahu Ramadan bulan penuh berkah dan bulan ampunan.
Dari Abu Hurairah RA Rasulullah SAW bersabda: "Barang siapa berpuasa di bulan Ramadan karena iman dan mengharap pahala, maka akan diampuni dosa-dosanya terdahulu".
Pasti sudah sering pesan kebajikan itu masuk ke telinga kita. Banyak orang yang hafal di luar kepala. Seperti halnya menghafal Surat Al Baqarah Ayat 183: "Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa"
Akan tetapi boleh jadi tanpa disadari berpuasa justru membuat manusia jadi lupa diri. Seolah-olah dengan berpuasa otomatis kita menjadi yang paling beriman dan bertakwa. Dengan itu kita merasa telah menggapai kesempurnaan. Lalu kita merasa berhak untuk menilai orang lain.
Kerendahan hati yang perlu dipetik saat berpuasa, justru digantikan dengan kesombongan dan sikap egois yang diam-diam berkecambah dalam hati. Kita merasa layak dihormati dan dihargai lebih dari biasanya.
Banyak di antara orang yang berpuasa menganggap warung-warung yang tetap buka sebagai pelaku kejahatan. Kita mengumbar kemarahan pada mereka, padahal puasa mengharuskan kita untuk menahan amarah.
Ego dalam beragama membuat seseorang kelewatan menghakimi sesamanya. Menganggap orang yang tidak berpuasa sebagai golongan tersesat yang tak berhak atas surga. Dengan berpikir demikian sesungguhnya kita telah lancang mendahului kuasa Allah dalam menentukan surga atau neraka untuk orang lain.
Selain egois dalam beragama, kita juga sering terlalu kelewatan dalam memaknai ibadah. Banyak orang yang merepresentasikan ibadah hanya ritual-ritual yang diukur secara kuantitatif. Semakin sering berpuasa, semakin baik. Semakin cepat datang ke masjid, semakin baik.