Mohon tunggu...
Hendra Wardhana
Hendra Wardhana Mohon Tunggu... Administrasi - soulmateKAHITNA

Anggrek Indonesia & KAHITNA | Kompasiana Award 2014 Kategori Berita | www.hendrawardhana.com | wardhana.hendra@yahoo.com | @_hendrawardhana

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pancasila Memang untuk Mengatasi (Ideologi) Agama

13 Februari 2020   14:30 Diperbarui: 13 Februari 2020   14:32 767
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Garuda Pancasila (foto: Antara).

"Kita bersama-sama mencari persatuan 'Philosophische grandslag', mencari satu 'Weltanshauung' yang kita semua setuju. Saya katakan lagi setuju! Yang Saudara Yamin setujui, yang Ki Bagoes setujui, yang Ki Hadjar setujui, yang saudara Sanoesi setujui, yang saudara Abikoesno setujui,  yang saudara Lim Koen Hian, pendeknya kita semua mencari satu modus".

Begitu antara lain yang disampaikan oleh Soekarno saat berpidato di depan sidang BPUPKI, 1 Juni 1945. Seperti halnya 39 pembicara lainnya yang menyampaikan gagasan dan konsep dasar negara Indonesia merdeka, Soekarno juga menjabarkan pemikirannya.  

Pada hari itu pula Pancasila lahir. Bukan proses yang pendek dan sederhana karena Soekarno beserta para pendiri bangsa lainnya sejak lama mulai menggali, merintis, dan melakukan sintesis terhadap nilai-nilai dasar bangsa Indonesia.

Menurut saya pidato Soekarno tersebut sangat penting untuk dihayati. Selain membidani kelahiran Pancasila, isi pidato itu juga mengandung esensi bagaimana kita memahami Pancasila secara lebih mendalam, bukan sekadar menghafalnya sebagai susunan atau urutan lima sila.

Dalam pidato itu terkandung wawasan, konsep, dan maksud yang prinsipil tentang Pancasila. Aspek penting yang barangkali luput dipahami banyak orang sehingga Pancasila hanya dimaknai dalam wujudnya sebagai teks tersurat seperti yang kita baca sekarang.

Pidato Soekarno pada 1 Juni 1945 mengandung kata kunci: Philosophische grandslag, Weltanschauung, persatuan, dan setujui.

Philosophische grandslag adalah Pancasila sebagai dasar falsafah negara. Sedangkan Weltanschauung adalah Pancasila dalam konteks pandangan hidup. Dasar falsafah bermakna kebajikan paling dasar yang di atasnya dibangun sebuah rumah bernama Republik Indonesia. Pandangan hidup bangsa merupakan sekumpulan ide atau wawasan untuk menata negara serta bangsa yang majemuk secara damai dan adil.

Seokarno mempertebal wawasan Pancasila juga dengan pidatonya: "Kita hendak mendirikan suatu negara "semua buat semua". Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan...".

Begitulah Pancasila digali dan dirumuskan oleh para pendiri bangsa sebagai titik temu dan titik tuju. Tertangkap jelas adanya keinginan luhur untuk mewujudkan kemaslahatan bersama melalui persatuan.

Sementara itu dalam bangsa yang majemuk, munculnya keinginan atau kehendak suatu kelompok, komunitas, suku, agama dan lain sebagainya untuk lebih mendominasi sangat mungkin terjadi. Maka penyebutan nama-nama seperti Yamin, Ki Bagoes, dan Lim Koen Han oleh Soekarno dalam pidatonya bukan suara tanpa makna. 

Soekarno secara cerdas dan bijak menyebut nama-nama tersebut dengan maksud ingin menyadarkan hadirin dalam sidang BPUPKI saat itu bahwa kehidupan bangsa ini dilingkupi oleh keberagaman. Kita hidup bersama anak bangsa dari berbagai latar belakang suku, etnis, dan agama.

Dengan demikian Philosophische grandslag dan Weltanshauung yang tepat untuk Indonesia adalah yang mampu mempersatukan sekaligus mengatasi kehendak penguasaan dan pemaksaan satu kelompok terhadap kelompok lain.

***

Sejarah membuktikan bahwa visi para pendiri bangsa menemukan keampuhannya, salah satunya ketika muncul ketidaknyamanan di sebagian golongan terkait isi Piagam Jakarta yang didalamnya memuat frasa "kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya", serta teks-teks lain yang cenderung mengakomodasi dan merepresentasikan superioritas agama tertentu.

Maka selama perumusan dan pengesahan Pancasila ada banyak curah gagasan yang memperkaya sintesis Pancasila. Berbagai ideologi yang dipahami oleh para pendiri bangsa bertemu dengan endapan pengalaman kolektif kebangsaan mereka.

Hasilnya ialah Pancasila sebagai ideologi yang mengatasi paham perseorangan, golongan, dan ideologi-idelogi lain termasuk ideologi agama, komunis, dan sebagainya.

Dari Pancasila dapat diteropong bahwa nilai-nilai dasar yang hidup sejak lama di dalam tubuh bangsa Indonesia ialah kebersamaan dan harmoni. Soekarno menyajikannya dengan istilah yang sangat kuat maknanya, yakni "gotong royong". 

Soekarno juga menekankan bahwa Pancasila digali dari lapis-lapis kehidupan bangsa yang melintasi masa Hindu, Budha, hingga masuknya Islam. Dari situ terungkap bahwa Ketuhanan adalah salah satu akar terdalam dari kehidupan bangsa ini.

Namun, Ketuhanan yang menjadi dasar dan pandangan hidup bangsa Indonesia bukanlah Ketuhanan yang didikte oleh pemahaman kelompok mayoritas. Bukan Ketuhanan yang dirumuskan oleh ideologi agama tertentu untuk mengatasi agama-agama lain. 

Oleh karena itu, tidak ada manfaatnya bagi bangsa dan negara ini untuk menonjolkan ideologi keagamaan tertentu karena sejak lama Ketuhanan telah hidup di tengah bangsa Indonesia.

Sila Ketuhanan Yang Maha Esa adalah sintesis dari berbagai agama dan keyakinan. Akarnya dari dalam kehidupan bangsa Indonesia dalam bentuk Ketuhanan yang membangkitkan kebersamaan, kerjasama, saling menghormati dan welas asih. Soekarno merangkumnya dengan istilah "Ketuhanan yang Berkebudayaan" yang kemudian menjadi wawasan "sosio-religius" Pancasila.

Kehidupan bangsa tidak berada di tengah dunia yang hampa. Dengan demikian sebagai ideologi Pancasila juga tidak berada di ruang yang menyediri dari dunia luar.

Dalam hal ini Pancasila merupakan simpul pengikat yang menjaga agar nasionalisme Indonesia tidak bablas menuju sekulerisme. Setiap orang menurut Pancasila dijamin haknya untuk mengembangkan keyakinannya masing-masing. Dengan Pancasila negara diharapkan bisa menyediakan ruang dan hawa yang lega bagi nafas kehidupan beragama. 

Akan tetapi pada saat yang sama pengaruh agama dijaga agar tidak sampai mengarah pada negara agama. Di sini Pancasila menjadi pengendali agar tidak ada agama tertentu yang dijadikan alat untuk mendikte negara, apalagi mendikte agama-agama lain. 

Jangan sampai ideologi agama tampil menguasai dan memaksakan absolutisme karena hal itu akan membuat empat sila lain di bawah Ketuhanan yang Maha Esa kehilangan makna dan kekuatannya. Jika itu terjadi riwayat negara ini tidak akan panjang.

Jadi, Pancasila memang lahir salah satunya untuk mengatasi ideologi agama. Untuk mengatasi mabok agama dan segala rupa ekspresi beragama yang menyimpang dari moralitas serta nilai utama Ketuhanan, seperti yang banyak kita rasakan akhir-akhir ini.

Baca juga: Mayoritas Muslim Indonesia Memilih Ideologi Pancasila dibanding Ideologi Agama

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun