Saat ini koruptor dan perampok uang rakyat mungkin sedang bersiap menggelar pesta hari raya. Hari di mana mereka akan mendulang kemenangan. Saat ketika KPK sekali lagi akan coba dilemahkan hingga mati.
Lembaga yang terus menerus dicoba untuk dibunuh. Begitulah barangkali nasib Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia (KPK RI).Â
Bukan tanpa alasan untuk mengatakan demikian karena kenyataannya sepanjang waktu upaya untuk melawan, melemahkan, dan menghancurkan KPK seolah tak henti digulirkan. Baik dilakukan secara diam-diam, maupun terang-terangan.Â
Ironisnya, serangan terhadap KPK tidak hanya dilakukan oleh para koruptor, tapi juga dilancarkan oleh pihak-pihak yang semestinya memperkuat KPK dalam melindungi rakyat Indonesia agar terhindar dari kesengsaraan akibat kejahatan korupsi.
KPK Harus Mati?
Tidak sulit untuk menyebutkan upaya-upaya pelemahan dan perlawanan terhadap KPK. Sebut saja beberapa kasus yang sangat mencolok dan menjadi perhatian masyarakat luas. Di antaranya kasus Cicak vs Buaya pada 2009 yang berujung pada kriminalisasi dua komisioner KPK, yaitu Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah.Â
Kemudian kasus korupsi Simulator SIM pada 2012 di mana KPK menetapkan petinggi Polri Djoko Susilo sebagai tersangka. Pada saat itu Polri sempat menghalang-halangi upaya KPK saat hendak menggeledah kantor Djoko Susilo. Polri juga berusaha menangkap penyidik KPK Novel Baswedan.Â
Jangan lupakan pula kisruh pencalonan Komjen Budi Gunawan sebagai Kapolri pada 2015 yang ditentang oleh KPK. Tak lama kemudian Polri menjadikan dua komisioner KPK Abraham Samad dan Bambang Widjojanto sebagai tersangka pada dua kasus berbeda. Polri juga mengangkat lagi kasus lama yang disusul penangkapan Novel Baswedan.
Setahun setelahnya atau pada 2016 giliran upaya pelemahan KPK bergulir dari gedung parlemen. DPR menyodorkan rancangan revisi UU KPK yang memuat beberapa poin penting, antara lain pembentukan Dewan Pengawas KPK, Penyadapan KPK yang harus disertai izin dari Dewan Pengawas, dan KPK bisa mengeluarkan SP3.
Oleh karena itu, revisi UU KPK diyakini merupakan bagian dari upaya sistematis untuk melemahkan KPK dengan cara melucuti kewenangan dan mengurangi ruang gerak KPK.
Setelah mendapat penolakan yang kuat dari masyarakat, DPR akhirnya mengurungkan pembahasan lanjutan RUU KPK. Namun, bola panas itu ternyata belum padam.Â
Tiba-tiba DPR menggulirkan lagi inisiatif revisi UU KPK pada 2019. Isinya tak jauh berbeda dengan rancangan versi 2016. Bahkan, kali ini upaya membunuh KPK semakin mengkhawatirkan dengan munculnya aturan-aturan aneh.Â
Di antaranya keharusan KPK berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung dalam penuntutan dan keharusan penyelidik KPK berasal dari Polri. DPR berdalih bahwa hal itu bisa memperkuat KPK.Â
Namun, siapapun tahu bahwa aturan-aturan tersebut akan menjadikan KPK sebagai macan ompong yang tergantung sepenuhnya kepada lembaga lain seperti Polri dan Kejaksaan Agung yang selama ini justru belum optimal memberantas korupsi.
Ditambah lagi penghapusan kewenangan KPK saat penuntutan seperti menghentikan transaksi keuangan dan mencegah ke luar negeri. Secara terang ini merupakan pelemagan terhadap KPK sekaligus dukungan kepada koruptor.
Bergulirnya inisiatif revisi UU KPK yang disepakati oleh seluruh fraksi DPR pada 2019 yang hampir bersamaan dengan proses politik pemilihan komisioner KPK oleh DPR juga menimbulkan kesan adanya persekongkolan untuk menggempur KPK dari banyak sisi dengan berbagai cara.Â
Apalagi, DPR secara luar biasa ingin menuntaskan revisi UU KPK secara ekspres hanya dalam waktu 3 minggu.
Mencermati upaya pelemahan KPK yang terus bergulir dari waktu ke waktu, menunjukkan bahwa banyak sekali pihak yang terusik kenyamanannya oleh KPK.Â
Banyak yang ingin terus merampok sebanyak-banyaknya uang rakyat sampai negara dan rakyat tak berdaya lagi. Maka dari itu tidak ada cara selain KPK harus mati.
Dukungan Rakyat
Suka tidak suka harus diakui bahwa pemberantasan korupsi di Indonesia merupakan misi yang sangat tidak mudah karena di negeri ini korupsi bukan lagi fenomena personal, melainkan telah menjadi masalah struktural dan kultural.Â
Pemberantasan korupsi semakin bertambah berat manakala KPK terus menerus diganggu oleh pihak-pihak yang memiliki pengaruh dan kekuatan.Â
Sayangnya setiap terjadi upaya pelemahan, pemerintah terkesan kurang tegas dalam  mendukung KPK. Pada saat revisi UU KPK bergulir pada 2016 misalnya, sikap dan pandangan pemerintah Jokowi berubah-ubah.Â
Kini saat bola panas revisi UU KPK kembali meluncur, pemerintah Jokowi lagi-lagi bersikap kurang jelas. Masyarakat menjadi bertanya, mengapa dalam kasus-kasus besar dan penting seperti kasus intoleransi, kasus Papua, dan kasus KPK pemerintah Jokowi cenderung lamban dan kurang tegas? Padahal KPK secara terang telah meminta pertolongan  dan perlindungan pada pemerintah.
Dalam kondisi seperti ini dan pada saat pemerintah terkesan hanya menunggu, beruntung rakyat selalu bergerak lebih dulu melawan senjakala KPK. Kekurangan yang masih dimiliki KPK tidak menghilangkan apresiasi positif rakyat kepada lembaga antirasuah ini.Â
Protes dan kemarahan masyarakat beberapa kali berhasil menahan laju bola panas pelemahan KPK. Dukungan yang besar untuk KPK paling tidak mencerminkan bahwa sebagian besar rakyat Indonesia masih berharap dan percaya pada KPK.Â
Pemerintah semestinya menangkap pesan ini sebagai dasar untuk bersikap lebih tegas dan jelas dalam menjaga keberadaan KPK. Jangan menunggu sampai bola panas semakin membesar dan membahayakan.Â
Koruptor itu KafirÂ
Fakta bahwa korupsi telah menggurita dan KPK berulang kali hendak dilemahkan perlu menjadi perhatian bersama. KPK yang tak pernah libur menangkap koruptor menunjukkan betapa parahnya praktik korupsi di Indonesia.Â
Banyaknya tersangka korupsi dari berbagai kalangan, mulai dari level yang rendah hingga pejabat negara, memperlihatkan betapa dalam kejahatan korupsi negeri ini.
Mirisnya para koruptor tak punya rasa malu dan bersalah. Meski tangan terborgol dan mengenakan rompi tahanan, masih bisa mereka tersenyum tanpa ada penyesalan atau permintaan maaf kepada rakyat yang telah menderita akibat korupsi.
Perilaku korupsi di Indonesia barangkali yang paling "maju" di dunia. Tidak ada lagi bidang kehidupan di Indonesia yang tidak dijamah oleh koruptor. Bahkan, urusan-urusan yang dipandang "suci" pun tak bebas dari korupsi.Â
Sebutlah mantan menteri agama, ketua partai Islam, ustaz, dan orang-orang yang atribut relijinya dipuja umat ternyata melakukan korupsi. Semakin miris karena materi-materi yang dikorupsi termasuk dana bantuan tempat ibadah, dana haji, hingga pengadaaan kitab suci.
Korupsi dianggap urusan sepele dan kewajaran. Padahal, korupsi adalah kejahatan yang merendahkan moralitas, kemanusiaan, dan ajaran agama.
Pemikiran para pakar, ahli, dan ulama dari Muhammadiyah dan NU merumuskan bahwa korupsi adalah tindakan keji, tercela, dan bertentangan dengan agama.Â
Dengan mengkaji latar belakang, modus yang digunakan, cakupan kejahatan, dan dampak kerusakan yang ditimbulkan, kejahatan korupsi digolongkan sebagai dosa yang tidak termaafkan.
Lalu mengapa korupsi tak pernah surut? Mengapa tidak pernah berhenti pihak-pihak yang berusaha menghalangi pemberantasan korupsi, salah satunya dengan mencoba membunuh KPK?
Mungkinkah sebutan "koruptor" tidak cukup menakutkan untuk membuat orang menjauhi korupsi?Â
Barangkali lebih menakutkan jika "koruptor" dipanggil dengan sebutan "penjahat kafir". Bagi orang Indonesia yang selama ini dikenal memuja tinggi agama dan atribut serta semboyan keagamaan, penegasan bahwa "koruptor adalah kafir" mungkin akan memberikan dampak yang berbeda. Siapa tahu mereka yang selama ini bersembunyi di balik kedok alim dan terhormat akan insyaf.Â
Siap tahu mereka yang selama ini bersemangat ingin menghancurkan KPK akan berpikir ulang karena melemahkan KPK sama halnya dengan mendukung kekafiran.Â
Jadi, apakah sebutan "Komisi Pemberantasan Korupsi" sebaiknya diubah menjadi "Komisi Pemberantas Kekafiran"?