Mohon tunggu...
HUN FLOCKY
HUN FLOCKY Mohon Tunggu... Aktivis budaya Masyarakat Lembah baliem suku hubula

Menulis dan menyoroti pentingnya akar dan identitas budaya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kritik,Logika Pemimpin dan Pembangunan

23 Agustus 2025   21:03 Diperbarui: 23 Agustus 2025   21:03 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

KRITIK,Logika Kepemimpinan Dan Pembangunan 

Di lereng-lereng berkabut Jayawijaya, di mana awan menggantung rendah seolah menyimak bisikan bumi, kepemimpinan bukan sekadar soal membangun jalan dan gedung. Ia adalah soal membangun kesadaran. Namun, sering kali logika berpikir dalam pemerintahan terjebak dalam ilusi: bahwa kritik adalah tanda kegagalan, bahwa suara-suara yang menggugat adalah ancaman terhadap stabilitas. Padahal, justru di sanalah pembangunan pertama sedang berlangsung---pembangunan jiwa masyarakat yang peduli.

Kritik bukanlah batu yang dilempar ke jendela kekuasaan. Ia adalah lentera yang dinyalakan oleh mereka yang masih percaya bahwa perubahan mungkin. Ketika masyarakat Jayawijaya bersuara, mereka tidak sedang merusak, mereka sedang merawat. Mereka sedang menunjukkan bahwa mereka melihat, berpikir, dan merasa. Dan itu, dalam logika kepemimpinan yang sehat, adalah berkah.

Pemimpin yang takut pada kritik sesungguhnya takut pada cermin. Ia enggan melihat bayangan dirinya dalam pantulan harapan rakyat. Padahal, kritik yang kontekstual dan relevan adalah bentuk dukungan paling mengakar. Ia tidak lahir dari kebencian, melainkan dari cinta yang menuntut tanggung jawab. Di birokrasi dan lembaga-lembaga pemerintahan, kesadaran ini harus menjadi fondasi. Tanpa itu, pembangunan hanya akan menjadi proyek fisik tanpa jiwa.

Di Papua Pegunungan, di mana sejarah dan luka berjalan berdampingan, kritik adalah tanda bahwa masyarakat mulai bangkit dari diam. Mereka tidak lagi hanya menerima, mereka mulai bertanya. Dan pertanyaan adalah awal dari peradaban. Maka, tugas pemimpin bukan memadamkan suara, tetapi mendengarkannya dengan hati terbuka.

Kepemimpinan sejati bukan tentang menghindari kritik, tetapi tentang tumbuh bersamanya. Seperti pohon yang kuat karena angin yang menantangnya, pemimpin yang bijak akan menjadikan kritik sebagai pupuk bagi kebijakan yang lebih adil dan manusiawi.

Jayawijaya tidak butuh pemimpin yang hanya membangun tembok. Ia butuh pemimpin yang membangun jembatan---antara kekuasaan dan rakyat, antara rencana dan kenyataan, antara diam dan suara. Dan suara itu, meski kadang tajam, adalah nyanyian pembangunan yang paling jujur.

Ketika Bukti Bicara: Menimbang Kritik dalam Bingkai Ilmu dan Hukum

Apakah mungkin sebuah masyarakat tumbuh tanpa suara yang menggugat? Jika kita menengok sejarah pembangunan di berbagai belahan dunia, termasuk di Jayawijaya, kita akan menemukan satu benang merah: masyarakat yang kritis adalah indikator awal dari peradaban yang bergerak. Penelitian oleh Amartya Sen, ekonom dan filsuf peraih Nobel, menunjukkan bahwa negara-negara dengan kebebasan berpendapat yang tinggi cenderung lebih mampu mencegah bencana kelaparan dan krisis sosial. Bukankah ini bukti bahwa kritik bukan penghalang, melainkan pelindung?

Lalu, mengapa sebagian pemimpin masih memandang kritik sebagai ancaman? Dalam teori komunikasi politik, Jurgen Habermas menekankan pentingnya "ruang publik" sebagai arena diskusi rasional antara warga dan penguasa. Tanpa ruang ini, kebijakan menjadi monolog, bukan dialog. Apakah birokrasi kita sudah cukup membuka ruang itu, atau justru menutupnya dengan tembok formalitas dan ketakutan?

Secara empiris, data dari berbagai survei nasional menunjukkan bahwa tingkat partisipasi masyarakat dalam menyampaikan pendapat meningkat seiring dengan akses informasi dan pendidikan. Di Papua Pegunungan, geliat media lokal dan forum komunitas mulai menjadi wadah ekspresi. Apakah ini bukan pertanda bahwa pembangunan sosial sedang berlangsung, meski belum tercatat dalam laporan anggaran?

Dari sisi hukum, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik menjamin hak warga untuk mengetahui dan mengkritisi kebijakan pemerintah. Bahkan dalam UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, partisipasi masyarakat dianggap sebagai komponen penting dalam evaluasi kinerja lembaga. Jika hukum sudah mengakui kritik sebagai bagian dari sistem, mengapa masih ada pemimpin yang alergi terhadapnya?

Teori kepemimpinan transformasional yang dikembangkan oleh Bernard Bass menyebutkan bahwa pemimpin sejati adalah mereka yang mampu menginspirasi perubahan melalui dialog dan empati. Kritik, dalam kerangka ini, bukanlah gangguan, melainkan bahan bakar. Apakah para pemimpin di Jayawijaya sudah siap menjadi transformasional, atau masih terjebak dalam gaya komando yang usang?

Jika kita menimbang semua ini---bukti empiris, teori para ahli, dan landasan hukum---maka jelas bahwa kritik bukanlah musuh pembangunan. Ia adalah denyut nadi dari masyarakat yang hidup. Maka, pertanyaannya bukan lagi "mengapa mereka mengkritik?", tetapi "apa yang telah kita lakukan sehingga mereka merasa perlu bersuara?"

Jika kritik adalah tanda bahwa masyarakat mulai berpikir, maka tugas pemimpin adalah belajar mendengar. Di Jayawijaya, suara-suara yang muncul bukanlah riuh tanpa arah, melainkan gema dari harapan yang belum terpenuhi. Apakah kita cukup rendah hati untuk menjadikannya cermin?

Mari kita rawat ruang dialog ini. Karena pembangunan sejati bukan hanya soal infrastruktur, tetapi tentang membangun kepercayaan dan keberanian untuk bertanya.

Disclaimer 
Tulisan ini adalah refleksi pribadi yang lahir dari keprihatinan dan kecintaan terhadap tanah Papua Pegunungan. Segala opini disampaikan dengan itikad baik, tanpa bermaksud menyudutkan pihak manapun. Semoga menjadi bahan renungan bersama.

Hun flocky
Wara,Sabtu 23 Agustus

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun