Pagar sosial menjaga agar kami tetap tahu mana yang pantas dibicarakan, mana yang harus diam. Sebab ketika benda masuk, ia bisa membuka suara---suara yang tidak keluar dari mulut, tapi dari ingatan, dari rasa tak nyaman, dari kejadian yang pernah menempel padanya. Maka kami melarang bukan karena benci, tapi karena tahu bahwa gangguan bisa datang tanpa suara, dan ketidakseimbangan bisa berawal dari benda yang tidak disadari maknanya.
Dengan larangan, kami tidak sedang membatasi. Kami sedang melindungi. Sebab batas bukan untuk mempersempit, tetapi untuk menjaga ruang tetap bisa digunakan dengan tenang. Seperti honai yang bundar tapi tidak kosong, ruang hidup kami punya aturan yang membuatnya tetap punya arah---dan larangan benda adalah penanda bahwa kami mengenali arah itu.
Hun Flocky
Dari kampung yang membuat batas bukan untuk menutup, tapi untuk menjaga arah tetap utuh
Kajian Akademis: Larangan sebagai Praktik Sakral Penjaga Kesucian
Dalam antropologi religius, larangan terhadap benda tertentu dipahami sebagai bentuk ritual purity ---konsep yang dipaparkan oleh Mary Douglas dalam Purity and Danger. Larangan tidak semata soal melarang, melainkan menandai batas antara yang profan dan yang sakral, serta membedakan ruang pemulihan dari ruang konflik atau lintasan. Dalam masyarakat Hubula, larangan terhadap kayu bekas jembatan bukan sekadar aturan teknis, tetapi wujud pengamanan spiritual ruang dalam agar tidak tercemar oleh jejak-jejak eksternal yang tidak dikendalikan.
Menurut Gaston Bachelard dan Edward Casey, ruang memiliki dimensi emosional dan simbolik yang dilindungi oleh struktur batas---baik fisik maupun batiniah. Masyarakat Hubula menciptakan pagar makna melalui larangan benda, yang menjaga arah hidup agar tetap bersih dari kemungkinan gangguan tak terlihat. Pagar spiritual menahan arus jejak batin dari benda, sementara pagar sosial menata intensitas dan arah percakapan. Ini adalah konsep etis-spasial yang mendalam.
Dalam teori Norbert Elias, batas sosial dibentuk untuk mengatur interaksi, melindungi identitas ruang, dan mencegah kontaminasi nilai kolektif. Larangan benda bertindak sebagai bentuk proteksi terhadap ruang hidup bersama dari percampuran nilai luar yang tidak konsisten. Benda yang pernah berfungsi di ruang publik dianggap berpotensi menyalurkan konflik dan ingatan yang tidak relevan ke dalam ruang privat. Pagar sosial ini bersifat preventif dan berfungsi sebagai filter makna.
Menurut pendekatan Tim Ingold dan Gregory Bateson, benda dalam masyarakat tidak hanya berfungsi struktural, tetapi sebagai organisme epistemik ---benda hidup secara makna karena interaksi sosial dan spiritual yang melekat padanya. Kayu bekas jembatan telah menyerap jejak-jejak yang dapat mengganggu keseimbangan psikososial kampung. Larangan atas benda tersebut menunjukkan bentuk ekologi makna, di mana masyarakat mengatur benda untuk menjaga keseimbangan nilai dan arah kolektif.
Sebagai kesimpulan, larangan benda seperti kayu bekas jembatan dalam masyarakat Hubula berfungsi sebagai pagar spiritual (melindungi ruang sakral dari jejak luar yang tak diketahui arahnya), pagar sosial (mengatur intensitas dan arah percakapan agar sesuai dengan struktur komunikasi adat), dan pagar epistemik (menjaga agar benda tidak menjadi sumber gangguan makna dan ritme hidup komunitas). Ini merupakan praktik rasionalitas kultural berbasis etika ruang, yang menunjukkan kedalaman nalar lokal dalam menjaga kesucian tempat, kestabilan batin, dan kelangsungan hubungan antar makna.
7. Menghormati Fungsi Benda
7.1 Mengapa Kayu yang Sudah Bertugas Harus Dibiarkan Membusuk