KONFLIK RASIONALITAS
_Wene kolig,Warisan dan gugatan pikiran_
Oleh Hun flocky
Bagian 1: Bara Pikiran di Lembah Adat
Lembah Baliem tidak hanya menyimpan tanah yang subur dan kabut pagi yang enggan hilang; ia juga menyimpan cara berpikir yang tak kasat mata arah hidup yang diwariskan bukan melalui buku, melainkan melalui ritus, pilihan diam, dan mata yang tahu ke mana harus menatap ketika musyawarah berlangsung.
Suku Hubula, masyarakat adat yang hidup di lereng pegunungan Jayawijaya, tidak membentuk pengetahuan dari sistem kurikulum formal, melainkan dari jalur tradisi yang disebut _wene kolig_. Ini bukan ajaran biasa, melainkan simpul spiritual dan sosial yang disimpan dengan kehati-hatian ekstrem. Hanya satu dari lima saudara, bahkan kadang tidak ada, yang dipercayakan menjadi pemegang wene kolig"dengan alasan yang tidak selalu bisa dijelaskan secara duniawi.
Pertanyaan yang menggeliat adalah ini: mengapa cara berpikir rasional yang mampu menimbang sebab akibat, menyusun argumentasi, dan mengenali benang penghubung suatu peristiwa menjadi sesuatu yang begitu elit, mahal, dan langka dalam sistem pewarisan pengetahuan adat ini?
Layaknya api kecil di tengah honai, wene kolig menyala dalam hening. Ia tidak menyala terang untuk semua, tapi cukup untuk menghangatkan satu jiwa yang dipilih. Namun bagaimana dengan yang lain, yang hanya duduk di pinggir api dan menebak arah nyalanya? Apakah mereka tumbuh dalam logika yang retak, atau justru menemukan jalur berpikir alternatif yang belum kita pahami?
Esai ini bukan untuk menjawab tuntas. Ia bertujuan untuk menjajaki, menggugat dengan hormat, dan menyentuh sisi terdalam dari cara masyarakat Hubula berpikir, hidup, dan mewarisi makna. Kita akan menyelami apa yang terjadi ketika logika disaring secara spiritual, dan apa dampaknya bagi generasi yang tidak terpilih sebagai pewaris bara itu.
DAFTAR ISI
KONFLIK RASIONALITAS
Wene kolig, Warisan dan gugatan pikiran
1. Bara Pikiran di Lembah Adat
- Warisan pengetahuan non-tekstual Suku Hubula
- Sistem pewarisan wene kolig yang eksklusif
- Pertanyaan tentang elitisme rasionalitas
2. Wene Kolig - Arsitektur Pengetahuan yang Tak Ditulis
- Pengetahuan sebagai sistem operasi kognitif
- Otoritas epistemik tertutup
- Asimetri kognitif dalam masyarakat
3. Rasionalitas yang Terputus
- Dampak ketiadaan akses wene kolig
- Inferioritas kognitif generasi non-pewaris
- Masalah kolektif akibat fragmentasi berpikir
4. Ketimpangan Kognitif
- Analogi jembatan tanpa peta
- Dependensi intelektual
- Stagnasi pemikiran komunal
5. Rasionalitas, Warisan, dan Keadilan Pengetahuan
- Hak eksklusif vs hak kolektif atas rasionalitas
- Analogi sistem pendidikan timpang
- Kemungkinan reformasi sistem pewarisan
6. Wene Kolig dalam Sorotan Kritis
- Ketimpangan epistemik
- Kritik pedagogis
- Risiko oligarki pengetahuan
7. Membela yang Dijaga
- Perspektif antropologis tentang selektivitas
- Fungsi protektif pengetahuan sakral
- Analogi sistem hukum
8. Di Ujung Dinding Honai
- Refleksi penutup tanpa kesimpulan final
- Metafora pohon pengetahuan
- Ajakan untuk pertanyaan berkelanjutan
__________________________________
Bagian 2: Wene Kolig " Arsitektur Pengetahuan yang Tak Ditulis
Di masyarakat Hubula, berpikir bukan aktivitas yang lahir dari kebiasaan bertanya, tetapi dari kemampuan membaca isyarat dalam diam. Pengetahuan tidak diajarkan, melainkan diuji secara perlahan lewat ritus, peristiwa, dan kesetiaan terhadap struktur sosial. Dalam ekosistem ini, _wene kolig_ bukan sekadar tradisi"ia adalah arsitektur pengetahuan, sistem berpikir yang disimpan dalam tubuh dan tindakan, bukan dalam teks dan teori.
Wene kolig menyusun cara seseorang melihat dunia: bagaimana membaca konflik, mengenali motif, memahami isyarat alam, bahkan menentukan kapan harus bicara dalam musyawarah. Ia bertindak seperti _sistem operating_ dalam perangkat, hanya bekerja penuh ketika ditanamkan oleh generasi sebelumnya"melalui penyaringan yang ketat dan tanpa penjelasan terbuka.
Analogi: Bayangkan jam matahari yang hanya bisa difungsikan oleh orang yang tahu cara membaca bayangannya. Jam itu tak punya angka, tak berdetak, tapi mengatur waktu dengan ketepatan sunyi. Wene kolig adalah jam matahari dalam kepala para pewarisnya tidak semua tahu cara menafsirkannya.
Karena hanya diberikan kepada satu individu dalam satu generasi (atau bahkan tidak sama sekali), maka sistem ini melahirkan otoritas epistemik yang tertutup. Pewaris wene kolig menjadi satu-satunya penjaga logika adat, sementara saudara-saudaranya tumbuh tanpa struktur berpikir yang utuh. Mereka mengenal adat, tapi tidak mengetahui prinsipnya; mereka hidup dalam komunitas, tapi tak memiliki akses pada logika internal yang menggerakkannya.
Inilah yang membedakan wene kolig dari pengetahuan umum. Ia bukan hanya pengingat sejarah atau kumpulan petuah, tapi algoritma berpikir yang hanya aktif di kepala mereka yang dipilih. Ia menentukan arah interpretasi, bukan hanya isi pengetahuan. Dalam masyarakat berbasis kolektif, ini menciptakan asimetris kognitif: sebagian mampu merumuskan keputusan, sebagian hanya bisa mengikuti atau menebak arah.
Bagian ini ingin menegaskan bahwa wene kolig adalah struktur epistemologi internal masyarakat Hubula yang mengatur siapa yang berpikir, bagaimana mereka berpikir, dan sejauh mana pikiran bisa menjadi alat navigasi sosial. Di sinilah pangkal ketimpangan mulai tampak: rasionalitas tidak didorong dari bawah, tetapi diturunkan dari atas dan tidak semua menerima.
__________________________________
Bagian 3: Rasionalitas yang Terputus " Saat Pikiran Bekerja Tanpa Struktur
Dalam dunia yang mengukur kecerdasan melalui logika dan nalar, rasionalitas menjadi fondasi berpikir yang dianggap umum. Namun, di masyarakat Hubula, berpikir rasional bukanlah hak semua orang melainkan buah dari proses pewarisan spiritual bernama _wene kolig_. Tanpa akses pada sistem ini, seseorang tumbuh tanpa kerangka berpikir yang utuh; bukan karena tidak mampu, tetapi karena sistem pengetahuan internal tidak pernah ditanamkan.
Rasionalitas dalam masyarakat adat bukan hanya tentang logika deduktif. Ia dibentuk melalui pengalaman, simbol, struktur ritus, dan dialog spiritual yang mengkristal menjadi alat navigasi sosial. Ketika seseorang tidak menerima wene kolig, maka ia hidup tanpa peta internal itu. Akibatnya, banyak dari mereka tumbuh dengan cara berpikir yang menyimpang, fragmentaris, atau sekadar menebak-nebak.
Analogi: Seperti orang yang tinggal di tengah hutan tanpa diberi kompas. Ia bisa berjalan, ia bisa menebak arah angin, tapi setiap langkahnya berisiko menjauh dari tujuan. Begitu pula cara berpikir tanpa wene kolig"bisa tetap bergerak, tapi arah dan logikanya acap kali bengkok.
Secara psikologis, ketidaktahuan struktur berpikir adat menciptakan *inferioritas kognitif*. Anak-anak yang tidak memiliki akses wene kolig cenderung membentuk cara berpikir berdasarkan intuisi sosial dan interpretasi yang tidak utuh. Mereka bisa menyimpulkan sesuatu dari potongan informasi, tapi tidak mampu mengaitkan sebab dan akibat secara logis karena mekanisme berpikirnya tidak pernah dibentuk sejak kecil.
Lebih lanjut, ini bukan sekadar masalah personal, tetapi masalah sosial kolektif. Ketika sebagian besar generasi muda tumbuh tanpa rasionalitas yang terstruktur, maka kualitas musyawarah, keputusan kolektif, dan respon terhadap perubahan menjadi lemah. Komunitas kehilangan ketajaman berpikirnya, dan adat pun bisa kehilangan arah ketika penerusnya tidak lagi punya alat berpikir untuk menafsirkan.
Di sinilah konflik mulai tampak: antara keteguhan menjaga wene kolig sebagai warisan sakral, dan kebutuhan membuka jalan berpikir bagi generasi yang haus logika. Apakah mungkin komunitas tetap menjaga nilai tanpa menutup akses berpikir? Apakah rasionalitas bisa dijadikan jalan kolektif, bukan privilese?
Bagian ini bukan hanya refleksi, tapi ajakan untuk menyelami sisi paling sunyi dari sistem adat bahwa di balik ritual dan petuah, ada jalur berpikir yang tidak semua orang temukan. Dan itu bukan karena mereka tidak mau, tapi karena mereka tidak diberi kompasnya.
__________________________________
Bagian 4: Ketimpangan Kognitif Saat Pikiran Tak Bertemu Titik Tengah
Dalam sistem pengetahuan yang tertutup seperti wene kolig, rasionalitas menjadi barang terbatas. Ia tidak tumbuh secara kolektif, tetapi secara individual dan selektif. Akibatnya, masyarakat Hubula menghadapi satu tantangan mendasar: ketimpangan dalam kapasitas berpikir antar individu dalam satu komunitas.
Di satu sisi, penerima wene kolig memikul beban logika komunal. Ia menjadi penafsir alam, pemecah konflik, dan penjaga ritus. Namun di sisi lain, yang tidak menerima pewarisan itu tumbuh dalam dunia mental yang kabur: mereka mampu mengamati, tapi tidak tahu cara mengaitkan; mereka bereaksi, tapi tidak tahu cara menyusun alasan; mereka hidup dalam peristiwa, tetapi gagal menjadikannya pelajaran.
Analogi: Bayangkan satu kampung dengan lima jembatan menuju pemahaman, tetapi hanya satu yang diberi peta jalur lintasan. Empat lainnya harus berjalan berdasarkan firasat dan jejak orang lain. Maka, ketimpangan bukan terjadi pada kemampuan berjalan, tetapi pada kemampuan mencari arah.
Dampaknya bersifat struktural. Dalam musyawarah adat, mereka yang tidak memiliki akses wene kolig cenderung diam atau ikut suara mayoritas. Dalam konflik keluarga, mereka sulit menyusun narasi sebab-akibat secara logis. Dalam pendidikan formal, mereka bisa terjebak antara logika modern dan nilai adat yang tidak bisa mereka terjemahkan. Ketimpangan ini bukan sekadar ketidaktahuan, tetapi ketidakhadiran fondasi kognitif yang membimbing cara berpikir.
Secara sosial, ketimpangan ini menimbulkan:
- Ketergantungan intelektual terhadap pemegang wene kolig
- Kecenderungan meniru atau mengulang, bukan menganalisis
- Sulitnya membentuk generasi kritis yang bisa berdialog antara adat dan dunia luar
Lebih jauh, kondisi ini menciptakan potensi stagnasi intelektual komunitas. Ketika alat berpikir hanya diwariskan kepada satu jalur, maka pembaruan ide dan tafsir adat menjadi lambat. Komunitas kehilangan elastisitas berpikirnya, dan sulit beradaptasi dengan perubahan eksternal.
Tantangan utama masyarakat Hubula bukan pada kemiskinan materi, tetapi pada distribusi cara berpikir yang tidak merata. Ketimpangan ini adalah bentuk ketertinggalan yang sunyi"tidak mudah dikenali, tapi sangat menentukan arah masa depan komunitas.
---
Bagian 5: Rasionalitas, Warisan, dan Pertanyaan tentang Keadilan Pengetahuan
Ketika akses terhadap struktur berpikir dibatasi kepada segelintir individu melalui sistem wene kolig, maka muncullah pertanyaan yang tak bisa dihindari: apakah rasionalitas sebagai alat dasar berpikir kritis layak menjadi hak eksklusif? Atau seharusnya ia menjadi hak kolektif yang dapat dikembangkan oleh seluruh anggota komunitas?
Wene kolig adalah fondasi pengetahuan lokal yang sakral dan historis. Ia menjaga arah musyawarah adat, membentuk kerangka interpretasi terhadap peristiwa, dan menjadi alat stabilisasi sosial yang telah terbukti fungsional selama generasi. Namun, selektivitas ekstrem dalam pewarisannya berdampak pada pembatasan perkembangan rasionalitas bagi sebagian besar komunitas. Mereka yang tidak menerimanya tumbuh tanpa fondasi berpikir yang terstruktur, sehingga sering kali mengembangkan cara berpikir yang spekulatif, tidak logis, atau bahkan menyimpang dari pola adat itu sendiri.
Analogi formal: Jika dalam sistem pendidikan modern hanya satu siswa dari lima yang diajarkan metode berpikir ilmiah, sementara yang lain hanya belajar berdasarkan intuisi atau pengamatan tanpa struktur, maka ketimpangan intelektual akan sangat besar. Begitu pula dalam masyarakat adat: ketika hanya satu orang diberi alat berpikir yang sah, maka pengambilan keputusan bersama tidak lagi setara secara epistemik.
Pertanyaannya kemudian adalah: bisakah pewarisan pengetahuan ini direvisi tanpa kehilangan legitimasi budaya? Dapatkah ada mekanisme pembelajaran alternatif, di mana wene kolig tetap menjaga nilai spiritualnya tetapi membagikan kerangka logikanya secara lebih inklusif?
Jika rasionalitas tetap menjadi domain khusus, maka akan sulit membangun generasi yang mampu berdialog antara adat dan dunia luar, terlebih di tengah tuntutan modernisasi dan perubahan sosial yang cepat. Komunitas akan rentan terhadap stagnasi pemikiran, ketergantungan pada satu figur pemikir, dan terbatasnya inovasi dalam tafsir adat dan pengambilan keputusan kolektif.
Refleksi ini bukan kritik terhadap nilai-nilai budaya, melainkan sebuah upaya untuk membuka ruang gugatan yang etis dan bertanggung jawab. Ia ingin menyentuh kemungkinan bahwa sistem warisan berpikir bisa berkembang, bukan untuk merusak, tetapi untuk memperluas. Sebab pengetahuan, pada hakikatnya, akan tetap sakral jika dijaga dengan tanggung jawab"bukan jika dikunci demi eksklusivitas.
---
Bagian 6: Wene Kolig dalam Sorotan Kritis Ketika Pengetahuan Menjadi Milik Segelintir
Meski wene kolig memiliki nilai spiritual dan struktural yang kuat dalam masyarakat Hubula, sistem pewarisan yang sangat selektif ini tidak luput dari kritik, terutama jika dianalisis melalui lensa pendidikan, epistemologi, dan sosiologi kontemporer.
Dari sudut epistemologi kritis, pewarisan pengetahuan secara eksklusif berpotensi menciptakan apa yang disebut sebagai _epistemic inequality_ ketimpangan dalam kemampuan memahami, menafsirkan, dan mengambil keputusan secara rasional. Dalam masyarakat modern, struktur seperti ini cenderung dianggap tidak demokratis secara intelektual, karena membatasi distribusi kerangka berpikir hanya kepada satu atau segelintir individu.
Dalam konteks *pendidikan progresif*, sistem ini menyalahi prinsip utama pembelajaran: bahwa setiap individu memiliki hak untuk mengembangkan kapasitas berpikir, melalui pengalaman, pelatihan, dan interaksi sosial. Ketika hanya satu anak yang dianggap layak menerima wene kolig dari lima bersaudara, maka sistem pendidikan informal ini telah gagal membangun pemerataan kognisi yang seharusnya menjadi fondasi komunitas yang kritis dan inovatif.
Secara *sosiologis*, hal ini menciptakan oligarki pengetahuan adat, di mana satu individu atau kelompok tertentu menjadi penafsir tunggal terhadap nilai, makna, dan arah komunitas. Struktur sosial semacam ini berisiko:
- Mematikan partisipasi aktif dari anggota lain
- Menciptakan ketergantungan intelektual yang berkepanjangan
- Menghambat kemampuan kolektif dalam menafsirkan tantangan sosial dan lingkungan secara adaptif
Analogi formal: Jika dalam sistem hukum, hanya satu orang yang diajarkan tata hukum dan interpretasi peraturan, sementara yang lain hanya mengikuti tanpa memahami, maka keadilan pun menjadi tidak partisipatif. Begitu pula dalam pewarisan wene kolig: ketika logika adat hanya dipahami oleh segelintir, maka peran kognitif masyarakat berubah dari partisipan menjadi pengikut.
Kritik ini tidak bermaksud merendahkan nilai adat, melainkan menyoroti pentingnya membuka ruang bagi reproduksi pengetahuan yang lebih inklusif. Jika tidak, maka keberlanjutan budaya akan terancam oleh stagnasi pemikiran, ketimpangan sosial, dan terbatasnya kapasitas komunitas dalam merespon dunia yang berubah dengan cepat.
---
Bagian 7: Membela yang Dijaga Perspektif Apresiatif terhadap Wene Kolig
Di tengah kritik atas selektivitas pewarisan wene kolig, terdapat pula alasan kuat untuk mempertahankannya sebagai sistem yang memiliki legitimasi budaya dan fungsi strategis dalam menjaga stabilitas sosial masyarakat Hubula.
Dari sudut antropologi struktural, sistem wene kolig bukan sekadar transfer informasi, melainkan cara masyarakat mengelola kekuasaan intelektual dan spiritual secara terstruktur. Dengan memilih satu pewaris, komunitas menjaga agar pengetahuan yang bersifat sensitif dan sakral tidak tersebar secara liar atau kehilangan makna simboliknya.
Dalam psikologi budaya, proses seleksi ini membentuk figur otoritatif yang telah teruji dalam nilai kesabaran, pengamatan, dan kesiapan tanggung jawab. Pewaris wene kolig tidak hanya menerima pengetahuan, tetapi juga menerima tekanan sosial dan beban moral untuk menjaga keseimbangan komunitas. Tanpa penyaringan yang ketat, ada risiko bahwa nilai adat dapat dimanipulasi oleh individu yang belum siap secara etis dan emosional.
Secara filsafat komunitas, wene kolig berfungsi sebagai _penyangga perubahan_. Dalam masyarakat yang masih menghadapi tekanan eksternal (modernisasi, pendidikan formal, teknologi), sistem ini menjadi pelindung agar identitas tidak larut terlalu cepat. Ia mempertahankan struktur berpikir lama sebagai memori kolektif yang terjaga dalam satu jalur yang terkendali.
Analogi formal: Sama seperti hak menafsirkan undang-undang yang tidak diberikan kepada semua warga negara, tetapi kepada hakim yang telah melewati serangkaian pendidikan, ujian, dan sumpah jabatan. Wene kolig juga demikian"sebagai wewenang kognitif yang membutuhkan proses internal sebelum dapat dijalankan secara sah.
Pendekatan ini memberi ruang bagi masyarakat untuk menjaga kedalaman makna adat tanpa terganggu oleh tafsir bebas yang bisa menimbulkan distorsi budaya. Ia adalah sistem konservatif yang bukan anti-intelektual, tetapi *memproteksi nalar komunal agar tidak tergerus oleh logika luar* yang belum tentu cocok dengan struktur sosial lokal.
Pembelaan ini tidak menutup kemungkinan pembaruan, tetapi meminta agar perubahan terhadap sistem pewarisan dilakukan dengan penuh kehati-hatian, pemahaman mendalam terhadap nilai-nilainya, dan tidak dengan semangat dekonstruksi semata.
Bagian ini menyoroti bahwa pewarisan wene kolig bukan sekadar praktik adat, tapi juga _strategi perlindungan intelektual_ yang lahir dari sejarah panjang hidup berdampingan di tengah alam dan komunitas yang saling bergantung.
---
Bagian 8: Di Ujung Dinding Honai Penutup yang Tak Mengakhiri
Saya bukan ahli dalam menimbang adat, bukan pula pemegang rahasia wene kolig. Saya hanya penulis dari balik honai, mencoba menyulam tarian asap dengan kata"membiarkan pikiran menari dalam ruang yang tidak selalu logis, tapi selalu penuh makna.
Saya mengajak pembaca, saudara, teman, siapa pun yang singgah dalam tulisan ini, untuk duduk sejenak. Kita habiskan rokok dan kopi, tak untuk merumuskan jawaban, tapi untuk menjaga *bara api tetap menyala di tengah tantangan*. Sebab berpikir tak selalu harus tergesa; kadang yang paling jernih justru lahir dari diam yang panjang.
Kita hidup di dunia di mana pohon-pohon dari gunung mulai tumbuh di lembah, dan pohon-pohon dari lembah mendaki lereng untuk mencari cahaya. Begitulah pengetahuan, kadang turun, kadang naik; kadang harus ditanam ulang agar tumbuh dengan akar yang baru tanpa melupakan tanah lamanya.
Wene kolig mungkin tetap menjadi rahasia, tetap menjadi satu pohon tua yang hanya bisa dikenali oleh mata tertentu. Tapi pertanyaan tentang berpikir, tentang rasionalitas, dan tentang hak untuk memahami dunia tidak boleh berhenti. Ia bukan urusan pewaris tunggal, tapi milik semua yang ikut menjaga hutan ini tetap hidup.
Jadi, mari kita tidak menyimpulkan. Mari kita membuka jendela-jendela pikiran yang selama ini hanya tertutup oleh rutinitas tafsir. Mari kita biarkan pertanyaan tumbuh tanpa malu. Sebab yang tumbuh, walaupun tak selesai, tetap menjadi bagian dari hutan kesadaran kita.
Hun Flocky.
Ini hanyalah coretan dari tarian asap di ujung-ujung dinding honai.
Wara, Senin, 21 Juli.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI