Dalam dunia yang mengukur kecerdasan melalui logika dan nalar, rasionalitas menjadi fondasi berpikir yang dianggap umum. Namun, di masyarakat Hubula, berpikir rasional bukanlah hak semua orang melainkan buah dari proses pewarisan spiritual bernama _wene kolig_. Tanpa akses pada sistem ini, seseorang tumbuh tanpa kerangka berpikir yang utuh; bukan karena tidak mampu, tetapi karena sistem pengetahuan internal tidak pernah ditanamkan.
Rasionalitas dalam masyarakat adat bukan hanya tentang logika deduktif. Ia dibentuk melalui pengalaman, simbol, struktur ritus, dan dialog spiritual yang mengkristal menjadi alat navigasi sosial. Ketika seseorang tidak menerima wene kolig, maka ia hidup tanpa peta internal itu. Akibatnya, banyak dari mereka tumbuh dengan cara berpikir yang menyimpang, fragmentaris, atau sekadar menebak-nebak.
Analogi: Seperti orang yang tinggal di tengah hutan tanpa diberi kompas. Ia bisa berjalan, ia bisa menebak arah angin, tapi setiap langkahnya berisiko menjauh dari tujuan. Begitu pula cara berpikir tanpa wene kolig"bisa tetap bergerak, tapi arah dan logikanya acap kali bengkok.
Secara psikologis, ketidaktahuan struktur berpikir adat menciptakan *inferioritas kognitif*. Anak-anak yang tidak memiliki akses wene kolig cenderung membentuk cara berpikir berdasarkan intuisi sosial dan interpretasi yang tidak utuh. Mereka bisa menyimpulkan sesuatu dari potongan informasi, tapi tidak mampu mengaitkan sebab dan akibat secara logis karena mekanisme berpikirnya tidak pernah dibentuk sejak kecil.
Lebih lanjut, ini bukan sekadar masalah personal, tetapi masalah sosial kolektif. Ketika sebagian besar generasi muda tumbuh tanpa rasionalitas yang terstruktur, maka kualitas musyawarah, keputusan kolektif, dan respon terhadap perubahan menjadi lemah. Komunitas kehilangan ketajaman berpikirnya, dan adat pun bisa kehilangan arah ketika penerusnya tidak lagi punya alat berpikir untuk menafsirkan.
Di sinilah konflik mulai tampak: antara keteguhan menjaga wene kolig sebagai warisan sakral, dan kebutuhan membuka jalan berpikir bagi generasi yang haus logika. Apakah mungkin komunitas tetap menjaga nilai tanpa menutup akses berpikir? Apakah rasionalitas bisa dijadikan jalan kolektif, bukan privilese?
Bagian ini bukan hanya refleksi, tapi ajakan untuk menyelami sisi paling sunyi dari sistem adat bahwa di balik ritual dan petuah, ada jalur berpikir yang tidak semua orang temukan. Dan itu bukan karena mereka tidak mau, tapi karena mereka tidak diberi kompasnya.
__________________________________
Bagian 4: Ketimpangan Kognitif Saat Pikiran Tak Bertemu Titik Tengah
Dalam sistem pengetahuan yang tertutup seperti wene kolig, rasionalitas menjadi barang terbatas. Ia tidak tumbuh secara kolektif, tetapi secara individual dan selektif. Akibatnya, masyarakat Hubula menghadapi satu tantangan mendasar: ketimpangan dalam kapasitas berpikir antar individu dalam satu komunitas.
Di satu sisi, penerima wene kolig memikul beban logika komunal. Ia menjadi penafsir alam, pemecah konflik, dan penjaga ritus. Namun di sisi lain, yang tidak menerima pewarisan itu tumbuh dalam dunia mental yang kabur: mereka mampu mengamati, tapi tidak tahu cara mengaitkan; mereka bereaksi, tapi tidak tahu cara menyusun alasan; mereka hidup dalam peristiwa, tetapi gagal menjadikannya pelajaran.