Tanah Adat Seperti Saham Emas: Strategi Kultural (Hun flocky)
Oleh: Hun flocky
Wara, Kamis 3 Juli 2025
Abstrak
Dalam kebijakan pembangunan nasional, tanah adat kerap diposisikan sebagai sumber daya potensial yang siap dikelola. Namun bagi masyarakat adat Hubula di Lembah Baliem, Papua, tanah merupakan pusaka sakral yang melekat pada sistem sosial, memori genealogis, dan spiritualitas komunitas. Artikel ini mengusulkan bahwa konsep tanah adat dalam masyarakat Hubula dapat dianalogikan sebagai "saham emas"---aset bernilai tinggi, langka, dan semakin mahal ketika tidak sembarangan dilepas. Dengan menelaah pemikiran tokoh-tokoh seperti Karl Polanyi, Amartya Sen, dan James C. Scott, tulisan ini menyoroti bahwa mempertahankan tanah bukanlah tindakan pasif, melainkan strategi aktif untuk menjaga kedaulatan dan arah pembangunan yang adil. Analog ini menekankan pada nilai intrinsik dan strategis tanah adat yang melampaui komodifikasi ekonomi semata, memposisikan masyarakat adat sebagai pemegang kendali atas masa depan mereka.
1. Pendahuluan
Tanah dalam pandangan masyarakat adat tidak sekadar lahan atau komoditas. Ia merupakan ruang kultural, spiritual, dan politis yang menentukan arah hidup komunitas. Bagi masyarakat Hubula, yang mendiami Lembah Baliem di pegunungan tengah Papua, tanah memiliki relasi yang tak terpisahkan dengan identitas, sejarah, dan eksistensi mereka. Sistem waris mereka yang unik, yang tidak hanya melalui jalur keturunan tetapi juga melalui jalur penguasaan teritorial yang seringkali dibuktikan melalui sejarah peperangan dan pertahanan, menegaskan betapa tanah adalah jantung dari tatanan sosial dan politik mereka.
Di tengah gelombang pembangunan nasional dan ekspansi ekonomi yang kerap mengatasnamakan kemajuan, masyarakat adat seperti Hubula sering dihadapkan pada tawaran-tawaran investasi yang tampak menggiurkan. Namun, di balik janji kesejahteraan ekonomi, seringkali tersimpan jebakan ketergantungan struktural dan hilangnya kontrol atas tanah leluhur. Di sinilah metafora "saham emas" menjadi relevan dan krusial. Tanah adat bagi masyarakat Hubula justru memperoleh nilai yang semakin tinggi dan strategis ketika ia dijaga, dikelola dengan bijak, dan tidak dilepas secara gegabah. Ini bukan tentang penolakan terhadap pembangunan, melainkan tentang kedaulatan dalam menentukan bentuk dan arah pembangunan yang selaras dengan nilai-nilai dan aspirasi komunitas.
Masyarakat adat Hubula di Lembah Baliem, Papua, menjaga tradisi dan tanah leluhur mereka.
2. Kerangka Teoretis