Ketika Uang Mengalir, Tapi Kesadaran Tidak Ikut Mengalir
_"Kalau uang mengalir, tapi kesadaran kultural dan sosial tidak ikut mengalir,
maka air bersih pun bisa berubah jadi lumpur."_
Di tengah deru pembangunan dan sirine proyek yang ramai, seringkali yang luput terdengar justru suara hati masyarakat. Kita senang mendengar kata "anggaran turun", "dana cair", atau "bantuan masuk"---seolah uang adalah hujan yang menyiram tanah kering. Tapi apakah kita lupa menyiapkan saluran airnya?
Di beberapa sudut Wamena, ketika dana tiba---dari pemerintahan, proyek, atau hibah---yang tumbuh bukan taman, tapi pesta-pesta sesaat. Bukan rumah belajar, tapi jejeran botol kosong. Jalanan tak mendadak terang, tapi justru dipenuhi tawa mabuk yang sesaat, sebelum pagi datang membawa penyesalan.
Mengapa ini bisa terjadi
Karena uang---dalam sistem sosial yang belum siap---bukanlah air suci. Ia bisa menjadi lumpur, jika tidak diarahkan. Ia bisa menggenang, merusak akar solidaritas, dan membusuk di sudut-sudut kota yang kehausan akan makna.
> Ketika tanah belum disuburkan dengan kesadaran, air pun hanya jadi beban.
> Ketika masyarakat tidak disertai narasi budaya dan nilai, dana hanyalah peluru tanpa arah.
Lumpurnya Bukan Pada Uangnya, Tapi Pada Kehilangan Arah